“Menghasilkan Perda itu sulit dan mahal. Anggarannya bisa Rp500 juta sampai Rp1 miliar. Jadi aneh, kalau yang lebih rumitnya sudah selesai di DPRD, tapi Pergub yang bolanya murni di eksekutif justru macet. Itu artinya ada masalah serius di birokrasi Pemprov,” jelasnya.
Lebih jauh, Riki juga menilai kinerja Biro Hukum Pemprov Sumbar patut dipertanyakan. Statistik banyaknya Perda yang menganggur menggambarkan tidak efektifnya kerja birokrasi hukum.
“Kalau memang sumber daya terbatas, harus ada skala prioritas. Pergub untuk Perda yang menyentuh langsung kebutuhan masyarakat, seperti perhutanan sosial dan tata niaga perkebunan, itu mestinya selesai duluan. Kalau tidak, jangankan masyarakat, birokratnya sendiri bingung ketika ditanya,” katanya.
Ia mendesak Gubernur Sumbar Mahyeldi segera melakukan evaluasi menyeluruh terhadap kinerja Biro Hukum. “Slogan gerak cepat yang sering digaungkan Pak Gubernur di mana wujudnya? Dalam urusan Pergub ini belum terlihat. Evaluasi perlu dilakukan supaya publik tidak kehilangan kepercayaan,” tegasnya.
Sebagai solusi, Riki mendorong adanya mekanisme monitoring dan penetapan prioritas dalam penyusunan Pergub.
“Jangan biarkan Perda hanya jadi pajangan. Segera tentukan mana Pergub yang paling urgen untuk masyarakat, lalu selesaikan cepat. Kalau tidak, perda itu hanya akan jadi dokumen mewah yang memboroskan uang rakyat,” pungkasnya. (*)














