“Komunikasi antara DPRD dan Pemprov harus ditinjau ulang. Fungsi legislatif tidak hanya membuat regulasi, tapi juga mengawasi implementasi. Kalau Perda sudah lahir, eksekutif wajib menjalankan fungsinya sebagai implementator,” jelas Dewi.
Ia menegaskan, tanpa mekanisme pengawasan yang ketat, produk legislasi hanya akan berhenti di meja birokrasi. “Wibawa DPRD sebagai lembaga legislatif dan Pemprov sebagai eksekutif bisa sama-sama jatuh di mata publik,” tambahnya.
Lebih jauh, Dewi mengingatkan bahwa pembuatan Perda tidak murah. Dalam satu proses legislasi, anggaran yang dihabiskan bisa mencapai Rp500 juta hingga Rp1 miliar.
“Kalau pada akhirnya Perda itu tidak dijalankan, berarti uang publik dibuang percuma. Ini sama saja dengan menghambur-hamburkan anggaran. Kalau memang tidak akan dijalankan, sebaiknya jangan buat Perda,” ujarnya.
Dewi menegaskan, inti kebijakan publik bukan sekadar lahirnya regulasi, tetapi bagaimana regulasi itu memberikan solusi nyata bagi masyarakat.
“Ke depan, setiap produk Perda harus dipastikan memiliki aturan turunan berupa Pergub. Sebab hanya dengan begitu, kebijakan bisa memberikan dampak riil bagi masyarakat,” pungkasnya. (*)














