“Luas wilayah Mentawai sekitar 600 ribu hektare, terdiri dari empat pulau besar yang terpisah-pisah. Tapi petugas polisi kehutanan hanya lima sampai enam orang saja,” ujarnya.
Meski aktivitas penebangan meningkat, ia menilai laju deforestasi di Mentawai tidak secepat wilayah daratan Sumbar. Hal itu karena sebagian besar kegiatan di Mentawai masih menggunakan sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI), bukan pola tebang habis seperti di Riau atau Limapuluh Kota.
“Di daratan, banyak kawasan hutan berubah menjadi Hutan Tanaman Industri (HTI) atau kebun sawit. Di Mentawai tidak. Sistem TPTI hanya memperbolehkan menebang pohon berdiameter 40 cm ke atas, jadi tidak menghabisi hutan,” ujarnya.
Di sisi lain, Fuaddi juga menyoroti persepsi masyarakat adat Mentawai yang menganggap seluruh lahan di pulau tersebut sebagai tanah ulayat. Akibatnya, banyak pembukaan lahan dilakukan secara sporadis tanpa memahami batas kawasan hutan.
“Masyarakat Mentawai menanam durian, cengkeh, dan pala di lahan yang mereka klaim sebagai milik leluhur. Tapi banyak dari lahan itu ternyata masuk kawasan hutan. Ini bukan kesalahan mereka sepenuhnya, tapi akibat belum tuntasnya tata batas hutan di Mentawai,” katanya.
Ia menjelaskan, sekitar 80 persen wilayah Mentawai masih berstatus kawasan hutan, sehingga ruang gerak pemerintah daerah untuk pembangunan sangat terbatas. Selama tata batas belum selesai, maka potensi konflik antara adat dan negara akan terus terbuka. Selain itu, kondisi ini juga menyebabkan banyak aktivitas ekonomi dan pembangunan berada di wilayah “abu-abu”.














