Oleh : Dr. Yulihasri.SE.MBA.CHRM (Rektor ITB HAS Bukittinggi)
Zaman digital menjanjikan keterhubungan tanpa batas dimana dunia hadir hanya sejauh genggaman tangan, kemudian informasi didapat secepat sentuhan jari. Berita dari benua lain bisa kita ketahui dalam hitungan detik dan kehidupan orang lain bisa kita saksikan lewat layar tanpa perlu beranjak dari kursi.
Namun disayangkan di balik kemudahan itu, lahir satu perilaku negatif modern yang kian merajalela yaitu Fear of Missing Out atau lebih dikenal dengan FOMO.
FOMO didefinisikan sebagai keresahan halus, namun nyata rasa takut tertinggal dari orang lain, baik dalam pengalaman, informasi, maupun pencapaian. Media sosial menjelma panggung besar, di mana setiap orang menampilkan versi terbaik dirinya seperti foto liburan, keberhasilan karier, pesta penuh tawa semuanya berkilau, seakan hidup orang lain lebih lengkap dari hidup kita. Maka muncullah bisikan kecil yang mengguncang: “Mengapa hidupku tidak seindah mereka?” Dari bisikan, lahirlah kegelisahan dan kemudian kegelisahan itu menumbuhkan rasa iri dan perasaan tak pernah cukup dan akhirnya kelelahan batin kita alami setiap hari.
Teori FOMO
Psikologi memberi cermin untuk memahami gejala ini, seperti diterangkan dibawah ini. Pertama, teori perbandingan sosial yang digagas Leon Festinger menjelaskan bahwa manusia menilai dirinya dengan bercermin pada orang lain. Dulu, cermin itu terbatas pada tetangga, kerabat, atau lingkungan kerja dan kini, media sosial memperbesar cermin itu ribuan kali lipat. Setiap pencapaian orang tampak gemilang dan setiap kekurangan diri semakin jelas terasa.
Kedua, Teori hierarki kebutuhan Maslow mengingatkan bahwa setelah kebutuhan dasar terpenuhi, manusia merindukan penghargaan dan aktualisasi diri. Media sosial menawarkan ruang pengakuan instan lewat likes dan komentar. Namun, janji itu sering kali palsu: alih-alih kepuasan, yang tertinggal justru kegelisahan.
Ketiga, adalah teori kesenjangan informasi menunjukkan bahwa manusia cenderung cemas bila merasa ada informasi yang terlewat. Inilah sebabnya banyak orang tak lepas dari handphone. Setiap notifikasi dianggap penting, seolah setiap kabar adalah urgent, meski sering kali tak bermakna. Dari teori diatas kita tahu FOMO bukan kelemahan individu belaka, melainkan hasil dari era yang terbuka tanpa batas.










