Wajah FOMO
FOMO hadir dalam berapa bentuk seperti diterangkan dibawah ini: FOMO Sosial, adalah rasa takut tidak diundang, tidak ikut serta dalam pesta, atau kehilangan kesempatan berkumpul dengan lingkaran sosial. FOMO Informasi adalah kegelisahan bila ketinggalan berita terbaru, dari gosip artis hingga isu politik terkini. FOMO Prestasi, perasaan minder melihat keberhasilan orang lain seperti promosi jabatan, beasiswa atau bisnis yang sukses. Terakhir FOMO Gaya Hidup, dorongan untuk mengikuti tren konsumtif: dari ponsel model terbaru hingga tempat nongkrong popular Keempat wajah ini seringkali menjerat manusia dalam rasa “kurang” yang tak kunjung selesai.
Contoh sederhana: seseorang membuka Instagram, melihat teman-temannya berlibur ke Bali, lalu merasa harus juga bepergian. Saat mencoba melakukannya, muncul dorongan untuk membeli pakaian baru agar terlihat keren di foto. Setelah liburan, ia kembali melihat pencapaian karier orang lain ,dan merasa kehidupannya belum seberapa.
Dampak FOMO
FOMO tidak hanya mengusik pikiran, tetapi juga membentuk perilaku negatif. Konsumtif dan impulsif hal ini disebabkan seperti diskon terbatas, flash sale, atau tren baru memicu keputusan belanja cepat, meski barang itu tidak benar-benar dibutuhkan. Kemudian Rendah diri dan cemas karena hal ini terjadi meelihat pencapaian orang lain bisa membuat individu merasa gagal, bahkan saat sebenarnya ia sudah cukup berhasil. Kehilangan fokus ini disebabkan terlalu sering mengecek handphone membuat produktivitas menurun, waktu belajar atau bekerja terganggu. Menurunnya kualitas relasi hal ini disebabkan ketika perhatian tercurah ke dunia maya, hubungan tatap muka dengan keluarga atau teman kerap diabaikan. Jika dibiarkan, FOMO bisa menggerus kesejahteraan psikologis, bahkan menimbulkan depresi pada jangka panjang.
Solusi
Apakah FOMO harus menjadi takdir generasi digital? Jawabannya tidak karena ada jalan keluar yang bisa ditempuh dari berbagai sisi seperti yang diterangkan di bawah ini.
Agama sebagai penuntun. Semua agama menekankan rasa syukur dan kesederhanaan dan khususnya dalam agama Islam ada pesan indah: “Lihatlah kepada yang di bawahmu dalam urusan dunia dan kepada yang di atasmu dalam urusan akhirat.” Pesan ini bukan sekadar nasihat moral, melainkan kunci pembebasan hati dari jerat iri dan ketidakpuasan dalam kehidupan nyata.
Keluarga sebagai benteng. Di tengah derasnya arus informasi, orang tua perlu menanamkan rasa percaya diri kepada anak-anaknya. Kehangatan keluarga memberi banteng, sehingga pengakuan dunia maya tidak lagi menjadi ukuran utama nilai diri tetapi pengakuan itu tercermin di keluarga yang akan terbawa dalam kehidupan nyata.










