BRUSSELS, HARIANHALUAN.ID — Saat para pemimpin dunia bersiap untuk negosiasi perubahan iklim COP30 bulan depan di Belém, Brasil, sebuah laporan yang dirilis hari ini menemukan bahwa bahan bakar hayati atau BBH, yang sering dicanangkan sebagai alternatif ramah lingkungan bagi bahan bakar fosil atau BBF, ternyata menghasilkan emisi karbon global 16 persen lebih tinggi daripada campuran bensin dan diesel yang digantikannya.
Temuan ini sangat relevan khususnya menjelang pembicaraan penting PBB ketika para pemerintah diharapkan supaya menilai peran BBH dalam mencapai sasaran suhu global perjanjian iklim Paris. Brasil telah menjadi pemimpin iklim internasional dan pilihannya atas Belém, yang berada di jantung Amazon, untuk menyelenggarakan COP30 mencerminkan komitmennya terhadap penggunaan lahan berkelanjutan dalam perjuangan melawan perubahan iklim.
Namun, laporan itu menggarisbawahi betapa penting bagi Brasil dan negara-negara lain yang bergantung pada BBH untuk menemukan keseimbangan yang tepat dalam portofolio energi mereka; jika tidak, mereka berisiko merusak kemajuan penting yang telah dicapai dalam aspek-aspek lain komitmen nasional mereka.
Transport & Environment (T&E), LSM terkemuka di Eropa yang menggeluti bidang transportasi dan energi bersih, menugasi tim peneliti di Cerulogy untuk melakukan studi dengan menelaah dampak kebijakan BBH dari sembilan produsen utama dunia terhadap emisi gas rumah kaca (GRK) dan penggunaan lahan.
Studi ini hadir selagi para pemerintah makin meningkatkan subsidi BBH, seperti etanol dan biodiesel, guna mencapai tujuan-tujuan kebijakan di bidang iklim, pertanian, industri, dan perdagangan, yang sering kali dengan mengorbankan keamanan pangan, penggunaan air, dan keanekaragaman hayati.
Saat ini, Brasil menempati posisi kedua setelah AS dalam produksi BBH dan baru-baru ini memutuskan untuk mencabut moratorium kedelai yang telah berjalan puluhan tahun, yang dipuji banyak pemerhati lingkungan karena memperlambat secara nyata deforestasi di Amazon. Pada 2030, produksi BBH Brasil diperkirakan akan tumbuh setinggi 50%.
“Keputusan Brasil untuk mencabut moratorium kedelai makin mengkhawatirkan dengan mengingat ekspansi BBH ini. Sebagai tuan rumah COP tahun ini, kita bisa berharap supaya Brasil mendorong lebih banyak bahan bakar terbarukan, tetapi BBH seharusnya tidak disertakan dalam pembahasan. Jika sebaliknya, kita berisiko menimbulkan lebih banyak kerugian daripada manfaat,” kata Cian Delaney, juru kampanye BBH T&E.
Sebagai tuan rumah COP30, kebijakan BBH Brasil menjadi sorotan, tetapi negara ini bukan satu-satunya yang perlu meninjau dengan kritis dampak langsung dan tidak langsung BBH terhadap kesejahteraan lingkungan dan manusia.
AS dan Brasil saat ini memimpin dunia dalam produksi BBH, tetapi Kanada, India, dan Malaysia termasuk di antara negara-negara yang berupaya menaikkan produksi untuk memenuhi permintaan BBH yang terus tumbuh di sektor-sektor pelayaran dan penerbangan.
Saat ini, budi daya tanaman untuk dipakai sebagai bahan bakar menyita 32 juta hektare lahan—kira-kira seukuran Italia—hanya demi memenuhi 4 persen kebutuhan energi transportasi global. Pada tahun 2030, angka ini diperkirakan akan tumbuh sebesar 60 persen menjadi 52 juta hektare.
Besarnya jejak karbon BBH berasal dari dampak tidak langsung pertanian dan deforestasi. Menurut laporan itu, pada 2030, BBH diperkirakan akan menghasilkan 70 MtCO₂e lebih banyak daripada BBF yang digantikannya, atau setara dengan emisi tahunan hampir 30 juta mobil diesel.
Temuan-temuan utama yang lain:
Pada 2030, tanaman BBH akan membutuhkan lahan seluas Prancis, yang akan menjadikannya negara keenam terbesar dalam hal penggunaan lahan layak tanam di seluruh dunia.
Secara rata-rata, 3.000 liter air dibutuhkan untuk menempuh 100 km dengan BBH.
Hanya 3% lahan yang saat ini digunakan untuk BBH generasi pertama yang mampu menghasilkan jumlah energi yang sama dengan yang dihasilkan panel surya.
Pada 2023, industri BBH mengonsumsi sekitar 150 juta ton jagung serta 120 juta ton tebu dan bit gula. Secara total, jumlah setara dengan 100 juta botol minyak nabati dibakar di mobil setiap hari, yang berarti seperlima seluruh pasokan minyak nabati tidak pernah digunakan untuk makanan. Energi dari semua bahan pangan ini dapat memenuhi kebutuhan kalori minimum sampai 1,3 miliar orang.
Dengan mengingat dampak negatif BBH, Uni Eropa kini membatasi BBH konvensional (yang berbasis tanaman generasi pertama) pada 7% energi transportasi, sementara BBH berbasis limbah dan residu memiliki batas 1,7% pada 2030 untuk jenis tanaman tertentu guna mendorong bahan bakar lanjut dan mengurangi dampak penggunaan lahan.
“Menjaga keseimbangan berkelanjutan antara pertanian dan alam sangat penting untuk mengatasi krisis iklim. Para pemerintah di seluruh dunia harus memprioritaskan energi terbarukan alih-alih BBH berbasis tanaman jika kita ingin berhasil,” ujar Delaney. (*)














