PADANG, HARIANHALUAN.ID — Kebijakan pemangkasan TKD ini juga menuai kritik keras dari Ekonom Universitas Andalas (Unand), Prof. Elfindri. Ia menilai langkah ini bukan hanya sekadar penyesuaian fiskal, melainkan cermin dari dilema ekonomi nasional yang tengah kehilangan napas.
“Selama ini hampir 70 persen APBN terserap untuk biaya rutin. Hanya sekitar 30 persen yang benar-benar menjadi belanja modal. Kalau biaya rutin itu pun dipotong, maka yang terjadi bukan efisiensi, tapi dilema fiskal,” ujarnya.
Ia menyebut, pemangkasan TKD adalah sinyal bahwa pemerintah pusat tidak memiliki pendanaan yang cukup untuk menggerakkan roda pemerintahan. Ironisnya, pada saat fiskal pusat sedang ketat, justru muncul kebijakan populis seperti MBG yang dinilai kacau-balau dan sarat aroma pemborosan uang negara.
“Kenyataannya, pusat lebih memprioritaskan program seperti MBG ketimbang membiayai jalannya pemerintahan daerah. Dana MBG yang semula Rp70 triliun kini melonjak menjadi sekitar Rp300 triliun,” katanya.
Bagi Elfindri, langkah ini menunjukkan adanya pergeseran prioritas yang tidak sehat. Daerah dipaksa berhemat, sementara pusat justru mengucurkan triliunan rupiah untuk program yang efektivitas dan urgensinya belum terbukti.
Dengan kondisi demikian, menurutnya daerah berada dalam posisi sulit. Pemda dilarang mengalokasikan lebih dari 30 persen APBD untuk gaji pegawai, sementara sumber penerimaan utama mereka semakin menyempit.
“Daerah sekarang harus meninjau ulang kewenangan mana yang benar-benar menjadi tugas pusat lewat gubernur, dan mana yang bisa dilaksanakan kabupaten/kota. Karena ruang geraknya makin sempit,” kata Prof. Elfindri.














