Bagaimanapun, pertumbuhan Pendapatan Asli Daerah (PAD) sangat bergantung pada pertumbuhan ekonomi lokal. Jika ekonomi melambat akibat kebijakan fiskal yang kaku, maka PAD akan otomatis stagnan. “Pertumbuhan ekonomi dan PAD itu berjalan beriringan. Kalau satu turun, yang lain ikut lumpuh,” ucapnya.
Menghadapi kondisi ini, ia menyarankan agar pemda segera melakukan audit terhadap seluruh Standar Pelayanan Minimal (SPM). Dari situ, daerah harus menentukan mana layanan yang bisa dijalankan dan mana yang realistis untuk ditunda. Ia juga mendorong daerah untuk memangkas pengeluaran non-esensial, seperti anggaran makan-minum rapat, penyambutan tamu, hingga penggunaan listrik yang berlebihan.
Namun begitu, ia mengingatkan bahwa efisiensi semata tidak cukup. Ruang fiskal daerah terlalu sempit untuk menopang pembangunan jika pusat terus menyedot sumber pendapatan melalui pajak dan royalti.
Prof Elfindri menilai akar persoalan fiskal ini bukan di daerah, tetapi di pusat. Dalam hal ini, pemerintah harus berani menagih kembali uang negara yang hilang akibat korupsi dan praktik capital flight atau pelarian modal ke luar negeri. “Saya menyarankan Pak Prabowo untuk mengambil kembali sumber-sumber pertambangan yang dikorupsi oleh orang-orang lama. Itu uang negara yang sah,” tuturnya.
Ia mencontohkan praktik yang marak terjadi di sektor batubara. Saat ini, batubara asal Indonesia disinyalir dijual murah ke perusahaan cangkang di Singapura, padahal dari induk perusahaan di Indonesia. Akibatnya, pajak ekspor hilang dan negara dirugikan triliunan rupiah. Fenomena seperti ini membuat potensi pendapatan negara terus bocor, sementara daerah justru dikorbankan lewat pemangkasan dana.
Prof. Elfindri menegaskan, menyehatkan ekonomi tidak bisa dilakukan hanya lewat instrumen fiskal. Peranan anggaran pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi bagaimanapun sangat kecil dibanding pengeluaran konsumsi, investasi, dan ekspor-impor.














