PADANG, HARIANHALUAN.ID — Menyikapi kebijakan pemangkasan dana Transfer ke Daerah (TKD), kepala daerah, termasuk Gubernur Sumatera Barat (Sumbar), beramai-ramai meinta pemerintah pusat untuk mengambil alih pembayaran gaji Aparatur Sipil Negara (ASN). Namun ekonom menilai hal ini perlu dikaji secara hati-hati.
Ekonom Universitas Andalas (Unand), Prof. Syafruddin Karimi menegaskan bahwa gagasan itu memang lahir dari ruang fiskal daerah yang semakin sempit, namun tanpa desain kebijakan baru, langkah tersebut justru berisiko bagi stabilitas fiskal nasional.
“Secara jangka pendek, ide ini bisa meringankan beban APBD. Tapi kalau tidak diimbangi dengan arsitektur penganggaran yang baru, akan menciptakan moral hazard rekrutmen dan menambah beban struktural bagi APBN,” ujarnya kepada Haluan, Kamis (9/10).
Prof. Syafruddin menjelaskan, usulan ini berangkat dari realitas pengetatan TKD yang memangkas ruang belanja publik. Namun, jika seluruh gaji ASN dialihkan ke APBN, dampaknya akan luas terhadap disiplin defisit dan kredibilitas fiskal nasional.
“Skema gaji PPPK sebenarnya sudah ditopang pusat melalui DAU Tambahan. Kalau sekarang seluruhnya diambil alih, berarti memperluas skema itu menjadi pembayaran langsung. Tanpa perubahan regulasi dan mekanisme pengawasan, ini bisa mengubah karakter TKD menjadi beban tetap yang sulit dikendalikan,” katanya.
Lebih jauh, ia menyoroti implikasi terhadap postur RAPBN 2026. Pemerintah dan DPR baru saja menyepakati peningkatan TKD menjadi Rp692,9 triliun dari usulan awal Rp649,9 triliun.














