Oleh: Ronny P Sasmita (Analis Senior Indonesia Strategic and Economics Action Institution)
Pemerintah akhirnya membentuk Badan Penyelenggara Badan Usaha Milik Negara (BP BUMN) sebagai lembaga baru yang bertugas mengatur dan mengawasi perusahaan pelat merah. Lembaga ini dibentuk melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025 tentang Pengelolaan BUMN dan diharapkan menjadi tonggak reformasi tata kelola BUMN Indonesia. Namun, di tengah semangat perubahan tersebut, muncul pertanyaan besar, apakah pembentukan BP BUMN benar-benar membawa penyederhanaan dan profesionalisme, atau justru menambah lapisan birokrasi di ranah BUMN
Secara formal, BP BUMN memiliki mandat strategis. Lembaga ini bertugas memastikan seluruh BUMN beroperasi sesuai arah kebijakan negara, menjaga kepatuhan terhadap tata kelola korporasi, serta mengelola kepemilikan saham Seri A Dwiwarna milik negara, saham istimewa yang memberi hak veto dalam keputusan penting perusahaan. Di sisi lain, pemerintah juga membentuk Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara), yang berperan sebagai pengelola portofolio investasi negara di BUMN, termasuk merger, restrukturisasi, hingga penempatan modal baru.
Dengan pembagian seperti itu, pemerintah ingin memisahkan fungsi regulator dan operator, BP BUMN sebagai pengarah kebijakan, Danantara sebagai pelaksana investasi. Di atas kertas, ide ini terdengar ideal. Namun dalam praktiknya, pembagian peran tersebut justru berpotensi menciptakan tumpang tindih dan kebingungan kewenangan. Kedua lembaga sama-sama memiliki otoritas yang bersinggungan dalam hal pengawasan, penentuan arah investasi, serta penilaian kinerja BUMN.
Masalah terbesar muncul pada aspek kepemilikan dan pengambilan keputusan strategis. BP BUMN memegang saham Seri A Dwiwarna yang menentukan keputusan penting di BUMN, sementara BPI Danantara mengelola saham-saham biasa serta operasional investasi. Dalam praktiknya, setiap langkah korporasi besar, seperti restrukturisasi, penggabungan, atau pelepasan aset, akan memerlukan persetujuan kedua lembaga tersebut. Hal ini tentu akan memperpanjang proses, memperbesar potensi tarik menarik kepentingan, dan menurunkan kecepatan pengambilan keputusan yang seharusnya gesit di dunia bisnis.
Selain itu, keberadaan BP BUMN tidak sepenuhnya menggantikan Kementerian BUMN. Kementerian tersebut tetap ada, hanya mengalami reposisi sebagian fungsi dan personelnya. Banyak pejabat dan pegawai negeri di lingkungan kementerian kini bernaung di bawah BP BUMN. Hal ini menimbulkan kesan bahwa pembentukan lembaga baru ini bukan semata langkah reformasi kelembagaan, melainkan bentuk kompromi birokrasi agar para pejabat lama tetap memiliki posisi.
Alih-alih menyederhanakan struktur, pemerintah justru menambah satu lapis lembaga baru di antara Kementerian, BP BUMN, dan BPI Danantara. Hasilnya, pengelolaan BUMN yang seharusnya semakin efisien bisa berubah menjadi lebih rumit. Pola akuntabilitas juga menjadi kabur. Jika kinerja sebuah BUMN memburuk, siapa yang harus dimintai tanggung jawab, BP BUMN sebagai pemegang saham istimewa, Danantara sebagai pengelola investasi, atau Kementerian sebagai pembina kebijakan?










