Kondisi ini sangat berbeda dengan model kelembagaan yang semestinya bisa dipilih pemerintah. Jika benar-benar ingin mereformasi sistem, langkah paling logis sebenarnya adalah mengubah Kementerian BUMN menjadi Otoritas Pengawas BUMN yang berdiri independen, mirip dengan hubungan antara Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Dalam model ini, Otoritas hanya berfokus pada pengawasan, tata kelola, dan kepatuhan, sementara Danantara menangani sepenuhnya aspek investasi dan manajemen korporasi.
Otoritas semacam itu tidak memerlukan sumber daya besar. Sebagian besar pegawai kementerian yang memiliki keahlian administratif dapat dialihkan ke Danantara yang justru membutuhkan tenaga profesional di bidang keuangan, restrukturisasi, dan investasi. Dengan begitu, fungsi pengawasan dan operasional bisa dipisahkan secara tegas, tanpa tumpang tindih, tanpa dualisme kewenangan.
Contoh yang bisa dijadikan rujukan datang dari Singapura dan Malaysia. Di Singapura, Temasek Holdings mengelola seluruh portofolio investasi negara secara profesional di bawah Kementerian Keuangan tanpa intervensi politik. Di Malaysia, Khazanah Nasional beroperasi sebagai sovereign wealth fund yang relatif mandiri dari birokrasi kementerian. Keduanya memiliki garis tanggung jawab yang jelas, tanpa lembaga antara yang membuat kebijakan dan operasional saling bertabrakan.
Sayangnya, desain kelembagaan Indonesia justru mengarah sebaliknya. Dengan adanya BP BUMN dan BPI Danantara yang memiliki kewenangan tumpang tindih, reformasi BUMN dikhawatirkan hanya menjadi kosmetik politik, menampilkan wajah baru tanpa menyentuh akar masalah lama. Dualisme otoritas akan menimbulkan kebingungan, memperlambat keputusan bisnis, dan membuka ruang bagi tarik-menarik kepentingan antara pejabat dan politisi.
Lebih jauh lagi, sistem yang kabur seperti ini dapat menggerus kepercayaan investor terhadap arah kebijakan pemerintah. Dunia usaha dan investor memerlukan kepastian tentang siapa pengambil keputusan dan bagaimana mekanisme akuntabilitas dijalankan. Semakin banyak lembaga yang terlibat, semakin besar pula risiko terjadinya konflik kebijakan dan inefisiensi.
Pembentukan BP BUMN seharusnya menjadi momentum besar untuk menata kembali tata kelola perusahaan negara. Namun dengan desain yang ada sekarang, lembaga ini berisiko menjadi kompromi birokrasi, bukan motor reformasi. Lembaga ini lebih tampak sebagai wadah baru bagi pejabat lama daripada alat untuk menciptakan BUMN yang profesional, transparan, dan berdaya saing tinggi.










