Oleh:
Mira Susanti
Aliansi Penulis Perempuan untuk Generasi
Menko Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengumumkan stimulus ekonomi berupa Bantuan Langsung Tunai Kesejahteraan Rakyat (BLT Kesra) sebesar Rp30 triliun untuk 35.046.783 Keluarga Penerima Manfaat (KPM) pada Oktober, November, Desember 2025. Langkah ini bertujuan untuk mengurangi angka kemiskinan. Angka Ini lebih tinggi dari BLT sebelumnya dan bisa menjangkau kurang lebih 140 juta orang.
Berikutnya, Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Yassierli juga meluncurkan Program Magang Nasional 2026 dengan kuota sebanyak 100 ribu orang dalam rangka meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan kesempatan kerja. Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) telah secara resmi menutup pendaftaran Program Pemagangan Nasional Tahun 2025 Gelombang I. Tercatat 156.159 pendaftar mengajukan diri sebagai calon peserta, sedangkan 1.668 perusahaan ikut serta menjadi penyelenggara kegiatan pemagangan tersebut.
Pada gelombang 1 Kemnaker membuka kuota bagi 20.000 lulusan baru (fresh graduate). Para peserta akan mendapatkan uang saku setara dengan upah minimum yang disalurkan oleh pemerintah melalui bank-bank Himbara (BNI, BRI, BTN, Mandiri, dan BSI) selama menjalani masa pemagangan selama 6 bulan. Apakah kebijakan ini cukup mampu mengatasi persoalan pengangguran di negeri ini atau hanya dijadikan alat peredam suasana politik kepentingan yang berkuasa saja?
Tambal Sulam Ala Kapitalisme
Meskipun pemerintah memberikan stimulus ekonomi, seperti BLT dan program Magang Nasional sebagai bagian dari program quick win atau langkah cepat untuk memberikan manfaat langsung kepada masyarakat. Namun, kebijakan ini tidaklah menuntaskan secara mendasar masalah ekonomi seperti kemiskinan dan pengangguran yang terus meningkat di negeri ini.
Kemiskinan yang menimpa rakyat di negeri ini bukan sekadar fenomena tahunan yang bisa dihapuskan begitu saja dengan solusi tambal sulam seperti BLT, Program Keluarga Harapan (PKH), atau lain sebagainya. Sejatinya, kemiskinan bukan hanya karena masyarakatnya malas bekerja, atau karena udah takdirnya. Justru yang terjadi adalah masyarakat dimiskinkan secara sistemik.
Faktanya, masyarakat dihadapkan pada sejumlah harga barang kebutuhan pokok dan biaya kebutuhan lainnya kian tak terkendali. Sementara pendapatan masyarakat tidak mengalami peningkatan yang berarti. Bagaimana bisa masyarakat merasakan hidup sejahtera dalam sistem kapitalisme hari ini yang apa-apa semuanya diukur dengan uang. Sekalipun pun ada yang gratis tapi cenderung menimbulkan masalah baru. Contohnya program Makan Bergizi Gratis (MBG), di mana yang didapatkan justru masyarakat Makan Beracun Gratis.
Alih-alih meningkatkan kesejahteraan masyarakat miskin adanya program bantuan sosial hanyalah seperti obat nyeri sesaat yang sakitnya tak kunjung sembuh alias tidak menyelesaikan akar persoalannya.
Justru kebijakan yang tidak berpihak pada kepentingan rakyat ini lahir dari cara pandang ideologi kapitalisme yang memberikan kebebasan bagi individu untuk menguasai hajat publik, seperti layanan kesehatan, pendidikan, industri pangan, dan distribusinya. Sementara itu negara hanya berperan sebagai regulator dan fasilitator bagi kepentingan para pemilik modal. Alhasil, terjadilah kesenjangan sosial dan ketimpangan ekonomi yang dikenal dengan adagium “yang kaya makin kaya, yang miskin makin melarat”.
Adapun pengangguran tidak terlepas dari masalah struktural. Terjadinya ketimpangan jumlah lulusan dengan lapangan kerja yang tidak mampu menampung semua lulusan. Kebutuhan industri terhadap tenaga kerja manusia kian berkurang seiring perkembangan teknologi. Seperti industri padat karya yang cenderung melakukan efisiensi dengan memanfaatkan teknologi, otomatis tidak membutuhkan tenaga manusia.
Dalam sistem pendidikan kapitalisme hari ini tujuan pendidikan pun bergeser sebatas memenuhi tuntutan dunia kerja. Sehingga output-nya lulusan yang siap bekerja (buruh) demi memenuhi permintaan pasar. Tidak jarang antara gelar lulusan dengan pekerjaan yang dilakukan tidak sesuai. Ada yang lulusan pertanian, malah jadi sopir ojol. Ada yang lulusan kependidikan menjadi buruh kasar. Bahkan mereka dipaksa bersaing dengan tenaga kerja asing dalam dunia kerja ulah kebijakan penguasa yang terjebak dalam pasar bebas.
Akibatnya, masyarakat dipaksa untuk kreatif dan berinovasi agar tidak bergantung pada pemberian negara. Bahkan, negara mendorong rakyat membuka lapangan kerja sendiri. Setelah usaha kecil dan mikro rakyat berkembang, negara tidak kehilangan akal untuk memungut pajak dari mereka. Padahal, menyediakan lapangan kerja dan memastikan setiap individu dapat bekerja adalah tugas pokok negara, bukan individu atau swasta.
Lepasnya negara dari tanggung jawab ini adalah konsekuensi atas penerapan sistem kapitalisme. Rakyat dituntut mandiri mencari nafkah dan mengatasi problem ekonominya. Negara hanya memberi stimulus yang sifatnya sementara dan belum menjamin kesejahteraan dalam jangka panjang.
Oleh sebab itu kita butuh sebuah sistem ekonomi yang mampu mengatasi persoalan mendasar ekonomi yang berkaitan kemiskinan dan pengangguran. Hal itu akan bisa kita rasakan dalam penerapan ideologi Islam secara kaffah.
Islam Mengatasi Kemiskinan dan Pengangguran
Kita menyakini bahwa Islam sebagai agama yang sempurna dan memiliki seperangkat aturan untuk mengatur seluruh aspek kehidupan manusia. Dalam pelaksanaannya, negara memegang peran penting sebagai pihak yang bertanggung jawab menjalankan tugas ri’ayah syu’un al-ummah, yakni mengurus berbagai kebutuhan rakyat. Bahkan Islam justru menawarkan solusi dan kebijakan konkret untuk mencegah serta mengatasi kemiskinan dan pengangguran.
Pertama, negara menyediakan lapangan kerja melalui mekanisme pengelolaan sumber daya alam (SDA) milik umum oleh negara dan hasilnya bisa dirasakan oleh rakyat secara murah, bahkan gratis. Pengelolaan SDA secara mandiri ini akan berpotensi menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar sehingga kesempatan bekerja juga besar. Di samping itu, Islam juga menetapkan kewajiban bekerja hanya dibebankan pada laki-laki saja tidak bagi perempuan. Kondisi ini akan menghilangkan persaingan antara tenaga kerja perempuan dan laki-laki.
Bagi para petani yang tidak memiliki lahan atau modal dapat mengerjakan lahan yang diberi negara. Negara dapat mengambil tanah mati (tanah yang ditelantarkan pemilik selama 3 tahun) dengan memberikannya kepada mereka yang menghidupkan tanah mati dengan menanaminya atau mendirikan bangunan di atasnya.
Jika ada individu yang malas bekerja atau tidak memiliki keahlian, negara berkewajiban memaksa mereka bekerja dengan menyediakan sarana dan prasarana yang dibutuhkan, seperti pelatihan keterampilan yang mumpuni.
Kedua, negara menyediakan layanan pendidikan secara gratis bagi seluruh masyarakat. Dengan kebijakan tersebut, rakyat memiliki kesempatan untuk menempuh pendidikan sesuai minat dan kemampuannya tanpa harus terbebani oleh biaya. Dalam kitab Usus at-Ta’lim fi Daulah al-Khilafah Syekh ’Atha’ bin Khalil menyebutkan bahwa negara wajib menyelenggarakan pendidikan bagi seluruh warga negara secara cuma-cuma. Mereka diberi kesempatan seluas-luasnya untuk melanjutkan pendidikan tinggi secara gratis.
Ketiga, negara berperan dalam mempermudah masyarakat untuk memenuhi kebutuhan dasarnya secara layak. Juga menyediakan layanan kesehatan gratis bagi seluruh warganya. Melalui kebijakan tersebut, tekanan ekonomi masyarakat dapat berkurang, sehingga mereka dapat bekerja dengan lebih tenang tanpa khawatir terhadap pemenuhan kebutuhan pokok sehari-hari.
Semua itu hanya dapat terwujud dengan penerapan sistem Islam secara kaffah dalam negara khilafah. Dalam perspektif Islam, negara menempati posisi yang sangat strategis dalam mengurus kepentingan rakyat. Kepemimpinan bukan sekadar urusan administratif, melainkan amanah besar yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah SWT.
Negara tidak hanya berkewajiban membuat kebijakan, tetapi juga memastikan bahwa setiap warganya dapat hidup layak dan memperoleh nafkah yang cukup. Tugas negara bukan hanya melakukan pengaturan, tetapi juga menjamin kesejahteraan rakyat secara berkeadilan.
Apabila masih ada rakyat yang menganggur dan kesulitan memenuhi kebutuhan pokoknya karena lemah, ia menjadi tanggung jawab pemimpin/khalifah. Rasulullah SAW bersabda, “Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya” (HR Bukhari). Khalifah akan memberikan santunan bagi orang tersebut beserta keluarga yang menjadi tanggungannya. (*)










