JAKARTA, HARIANHALUAN.ID – Demam Reumatik (DR) dan Penyakit Jantung Reumatik (PJR) masih menjadi ancaman kesehatan yang serius dan sering kali tidak disadari bagi anak-anak di Indonesia. Kondisi ini, yang bermula dari infeksi tenggorokan biasa yang tidak ditangani dengan tepat, dapat berakibat pada kerusakan katup jantung permanen, gagal jantung, hingga kematian.
Disampaikan oleh DR Dr Piprim Basarah Yanuarso, Sp.A, Subsp Kardio(K), Ketua Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Selasa (11/11), “Penyakit Jantung Reumatik (PJR) adalah penyebab paling umum penyakit jantung didapat pada anak dan remaja di banyak negara berkembang, termasuk Indonesia. Sayangnya, kesadaran akan bahaya infeksi tenggorokan streptokokus dan komplikasinya ini masih sangat rendah. Banyak kasus baru terdiagnosis ketika kerusakan katup jantung sudah dalam tahap berat, yang penanganannya menjadi lebih kompleks dan mahal.”
Dari Radang Tenggorokan ke Kerusakan Jantung Permanen
Dr. Rizky Adriansyah, M.Ked(Ped), Sp.A, Subsp.Kardio(K), Ketua UKK Kardiologi IDAI, dalam seminar “Mengenal Penyakit Jantung Reumatik pada Anak” memaparkan, “Demam Reumatik (DR) adalah reaksi kekebalan tubuh yang terjadi 1-5 minggu setelah radang tenggorok akibat infeksi bakteri Streptococcus Grup A. Jika tidak ditangani, DR dapat berkembang menjadi PJR, yaitu kerusakan katup jantung yang menetap.”
Gejala DR yang perlu diwaspadai orang tua dan guru antara lain:
* Nyeri dan bengkak sendi yang berpindah-pindah.
* Ruam kemerahan berbentuk lingkaran.
* Keluhan jantung seperti sesak napas, mudah lelah, jantung berdebar, dan bengkak pada tungkai.
* Gerakan gelisah tidak terkendali seperti ‘menari’ (Khorea Sydenham).
Tingginya Beban PJR di Indonesia dan Tantangan Penanganannya
Indonesia merupakan negara endemis untuk PJR dengan angka kematian mencapai 4,8 per 100.000 penduduk, lebih tinggi dari angka kematian akibat malaria (3 per 100.000). Data dari Unit Kerja Koordinasi (UKK) Kardiologi IDAI Tahun 2018 mengungkapkan bahwa hanya 6 dari 10 anak yang mampu bertahan hidup setelah 8 tahun terdiagnosis PJR, dan 4 dari 10 anak yang baru terdiagnosis mengalami progresivitas kerusakan katup jantung.
“Tantangan utama dalam penanganan PJR di Indonesia sangat kompleks,” tambah dr. Rizky. “Mulai dari deteksi dini yang rendah, ketidakpatuhan terhadap pengobatan pencegahan, hingga ketidaktersediaan Benzatin Penisilin G (BPG) yang merupakan tulang punggung terapi pencegahan sekunder.”
BPG adalah antibiotik suntik yang harus diberikan secara rutin setiap 3-4 minggu untuk mencegah kekambuhan DR dan memperberat PJR. Sayangnya, ketersediaan obat ini di fasilitas kesehatan, terutama rumah sakit rujukan, seringkali terbatas.
IDAI menekankan bahwa pencegahan adalah langkah paling efektif.
Pencegahan Primer (Menghindari Demam Reumatik):
* Mengobati infeksi tenggorokan SGA hingga tuntas dengan antibiotik (10-14 hari).
* Menerapkan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS): cuci tangan pakai sabun, tidak berbagi alat makan, tutup mulut saat batuk/bersin.
* Memperbaiki sanitasi dan ventilasi di rumah serta sekolah.
Pencegahan Sekunder (Mencegah Kekambuhan pada Anak yang Sudah Terdiagnosis DR/PJR):
* Pemberian suntik BPG secara teratur minimal selama 5 tahun atau sampai usia 21 tahun, tergantung tingkat keparahan kerusakan katup.
* “Dengan sistem rujuk balik yang baik, suntikan BPG dapat dilakukan di daerah (RS dan Puskesmas),” jelas dr. Rizky.
IDAI menekankan pentingnya komitmen bersama dari semua pihak karena untuk mengatasi PJR memerlukan kolaborasi semua pihak antara lain:
Para orangtua dan guru sebaiknya meningkatkan kewaspadaan terhadap gejala radang tenggorokan dan DR, serta memastikan kepatuhan pengobatan, bagi masyarakat untuk mendorong penerapan PHBS dan lingkungan hidup yang sehat.
Dr. Rizky Adriansyah juga menyerukan pentingnya intervensi pemerintah melalui “Program skrining dan registri nasional untuk DR dan PJR, serta yang tak kalah penting adalah pengadaan BPG di fasilitas kesehatan primer, sekunder, dan tersier.”
Dukungan data dari WASHActs (2025) memperkuat betapa mendesaknya perbaikan infrastruktur dasar: 1,5 juta anak tidak memiliki akses fasilitas cuci tangan dengan air dan sabun di sekolah, dan 58% sekolah masih belum memiliki akses ke sanitasi dasar.
“Mari bersama-sama untuk menjadi bagian dari Sehatkan Jantung Anak Indonesia, Selamatkan Penerus Bangsa,” tutup dr Piprim mengingatkan. Dengan upaya kolektif, beban Penyakit Jantung Reumatik pada anak-anak Indonesia dapat dikurangi dan dicegah. (*)














