PADANG, HARIANHALUAN.ID — Warga Pekanbaru H. Syarifuddin, mengaku tanahnya diduga dicaplok meski memiliki bukti hukum yang sah.
“Kami kaget karena proses penerbitan sertifikat tanah kami tiba-tiba dihentikan hanya karena klaim sepihak dari kaum Andung Siran yang mengaku tanah itu pusaka tinggi mereka. Tidak ada dasar hukum yang jelas, tapi BPN langsung percaya,” ujar Syafrinal, anak dari H. Syarifuddin, dalam konferensi pers di Padang, Senin (10/11/25).
Tanah milik H. Syarifuddin terletak di Korong Durian Gadang, Nagari Sikucua Tengah, Kecamatan V Koto Kampung Dalam. Lahan itu merupakan hasil lelang sah yang dimenangkan kakeknya, Muhammad Amin, sejak 17 Oktober 1932, dan telah diumumkan secara resmi oleh BPN pada 30 Agustus 2023. Namun, proses penerbitan sertifikat tiba-tiba dihentikan tanpa alasan jelas.
Lebih aneh lagi, kata Syafrinal, surat pemberitahuan penghentian berkas baru diterima dirinya dan sang ayah pada 22 Oktober 2025, padahal surat tersebut tertanggal 12 Desember 2024. Di sisi lain, pihak pengklaim sudah lebih dulu menerima salinan surat dan bahkan sempat menggelar syukuran pada Desember 2024.
“Ini jelas tidak wajar. Kami menduga ada oknum di BPN yang membantu pihak pengklaim untuk mencaplok tanah kami,” tutur Syafrinal.
Syafrinal menilai kasus yang menimpa keluarganya menjadi bukti lemahnya integritas dan pengawasan di tubuh BPN.
“Kalau tanah hasil lelang resmi bisa dicaplok, apalagi tanah rakyat biasa? Kasus Yusuf Kalla di Makassar saja akhirnya diakui BPN sebagai kesalahan fatal. Lalu bagaimana nasib kami yang hanya rakyat biasa?” ujarnya.
Zulkifli, selaku pengacara dari Kantor Hukum Zulkifli., SH & Rekan yang mendampingi Syahrial menyebut praktik itu sudah lama terjadi.
“Kalau tidak punya kesabaran tingkat dewa, bisa stres bahkan sakit. Prosedur di BPN Padang Pariaman sangat rumit. Mereka sering membuat aturan tambahan yang tidak jelas dasarnya. Persyaratan diminta berulang kali dan sering kali tidak masuk akal,” kata Zulkifli.
Ia mencontohkan kasus yang dialami Syahrial, warga Nagari Sicincin, Kecamatan 2×11 Enam Lingkung, yang sudah tiga tahun lebih mengurus penerbitan sertifikat tanahnya.
Ia mengatakan bahwa, Syahrial telah empat kali diminta menyerahkan berkas tambahan dengan masing-masing empat hingga enam dokumen baru, namun hingga kini berkasnya justru dikembalikan tanpa kejelasan.
Nasib serupa, sambung Zulkifli juga dialami Basri, warga Nagari Tapakis, Kecamatan Ulakan Tapakis yang diminta membayar sejumlah uang tambahan agar proses pemecahan sertifikat tanahnya bisa segera diproses.
“Ada yang namanya jasa ukur, jasa tanda tangan kepala seksi, bahkan jasa tanda tangan kepala kantor. Kalau tidak dibayar, berkas kita dibiarkan saja. Ini sudah seperti pemerasan,” ujarnya.
Kasus lain sambungnya datang dari Saiki Yasman, warga Nagari Pakandangan, Kecamatan Enam Lingkung, yang mengaku mengalami kendala dalam mengurus balik nama tanah, meskipun prosesnya sudah dilakukan melalui Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) resmi.
“Setiap kali datang, selalu ada alasan baru dan tambahan syarat yang tidak masuk akal. Ujung-ujungnya ya diminta uang. Kalau tidak, urusan tak selesai,” ujar Zulkifli.
Menurut Zulkifli, pola seperti ini menunjukkan adanya sistem pungli yang sudah mengakar di tubuh Kantah BPN Padang Pariaman.
“Kami sudah melaporkan dugaan pungli ini ke Kementerian ATR/BPN pada 29 September 2025, tapi hingga kini belum ada tanggapan. Artinya, laporan masyarakat belum dianggap serius,” ucapnya. (*)














