PADANG, HARIANHALUAN.ID — Sudah lebih dari dua dekade otonomi daerah dijalankan di Indonesia. Tujuannya jelas: mendekatkan pelayanan publik, mempercepat pembangunan, dan menghadirkan tata kelola pemerintahan yang transparan dan akuntabel. Namun realitanya, otonomi justru membuka celah baru bagi praktik korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan di tingkat lokal yang dilakukan oleh elite politik lokal itusendiri.
Pakar Otonomi Daerah (Otda), Prof. Dr. Djohermansyah Djohan, MA, menilai persoalan ini bukan sekadar perilaku oknum kepala daerah, melainkan sudah menjadi masalah sistemik dalam desain demokrasi lokal.
“Sejak pilkada serentak pertama 1 Juni 2005 hingga kini, sudah 462 kepala daerah tersangkut kasus hukum. Ini bukan angka kecil. Ini menandakan kegagalan sistem pilkada kita dalam melahirkan pemimpin yang kompeten dan berintegritas,” kata Prof. Djo, Minggu (9/11).
Menurutnya, penyebab utama korupsi di daerah bersumber dari politik biaya tinggi. Untuk memenangkan satu kontestasi pilkada, seorang calon bupati atau wali kota harus menyiapkan puluhan hingga ratusan miliar rupiah. Sementara calon gubernur bisa menghabiskan lebih dari seratus miliar.
“Di negara demokrasi maju, dana kampanye dikumpulkan melalui fundraising publik. Tapi di Indonesia, sistemnya dibayar oleh cukong. Pemilih bukan menyumbang, malah minta dibayar. Inilah demokrasi yang masih sangat kapitalistik dan belum matang,” ujar Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) itu.
Kondisi ini membuat kepala daerah yang terpilih cenderung berupaya mengembalikan modal politiknya ketika menjabat, dengan memanfaatkan kewenangan yang dimiliki. Korupsi pun menjadi konsekuensi yang sistemik, bukan sekadar penyimpangan individu.














