“Negara ini perlu turun mesin. Reformasi bukan slogan, tapi kerja nyata memperbaiki sistem pemilihan dan pengawasan,” katanya.
Solusi Asimetris
Menanggapi usulan perbaikan sistem, Prof. Djohermansyah mengajukan solusi yang realistis: tidak semua daerah harus menjalani pilkada langsung.
“Daerah seperti Jakarta, dengan pendidikan dan ekonomi yang lebih baik, bisa tetap pilkada langsung. Tapi untuk daerah-daerah yang PAD-nya kecil dan tingkat pendidikan rendah, lebih baik pemilihannya lewat DPRD saja,” usulnya.
Ia menyebut sistem asimetris ini dapat menghemat biaya politik sekaligus mengurangi risiko korupsi.
“Kalau PAD cuma tiga persen dari APBD, bagaimana bisa mereka biayai pilkada langsung tanpa korupsi? Jadi jangan seragam, kita harus cerdas dalam desain sistem politik daerah,” tambahnya.
Reformasi Pilkada Mendesak
Prof. Djohermansyah mendesak agar pemerintah dan DPR segera merevisi Undang-Undang Pilkada Nomor 10 Tahun 2016 dan UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017, sebelum pelaksanaan pemilu berikutnya.
“Jangan tunggu sampai 2029 atau 2031 dengan sistem yang sama. Harus diperbaiki dari sekarang, agar rekrutmen kepala daerah dan legislatif ke depan lebih bermoral dan berkualitas,” ujarnya.
Baginya, inti persoalan bukan hanya pada siapa yang terpilih, tetapi bagaimana sistem melahirkan mereka dengan benar.














