Oleh:
Ahmad Hakim Fikri
Mahasiswa Sosiologi FISIP Universitas Andalas
Pada era budaya kapitalis ini, budaya aplikasi berlangganan semakin meningkat. Semakin banyak aplikasi yang menerapkan konsep subscription untuk memberikan pengalaman tanpa iklan bagi para penggunanya. Tak jarang beberapa aplikasi mengharuskan penggunanya melakukan langganan untuk menikmati konten dari aplikasinya. Berlangganan aplikasi pada platform musik dan film sekarang menjadi komoditas bagi masyarakat banyak, terutama bagi Gen-Z sebagai bentuk “apresiasi seni” dengan menikmati karya-karya terebut secara legal.
Tetapi terkadang berlangganan ini menjadi beban bagi para penikmat seni musik dan film secara legal karena banyaknya aplikasi yang harus mereka bayar untuk menikmati karya-karya tersebut secara legal. Jika dihitung-hitung, untuk satu platfrom dibutuhkan sekitar lima puluh ribu rupiah untuk berlangganan langsung kepada sebuah platform musik dan film, yang mana dalam satu bulan akan dibutuhkan beratus-ratus ribu rupiah untuk berlangganan platform-platform musik dan film.
Meskipun sudah ada cara mengefisiensikan budget untuk subscription dengan membeli langganan melalui pihak ketiga (reseller), tetapi hal itu masih saja memerlukan dana yang cukup besar. Banyak juga yang akhirnya memilih untuk beralih ke website atau aplikasi ilegal.
Pada tahun 2024, layanan streaming berlangganan pada industri rekaman meningkat 9,5 persen dan pengguna di seluruh dunia naik 10,6 persen menjadi 752 juta orang pada tahun 2024, dengan pelanggan paling banyak berada pada usia 16 sampai 35 tahun. Spotify memimpin sebagai aplikasi yang paling banyak digunakan disusul dengan YouTube Music, Apple Music, dan Amazon Music.
Swedia memimpin sebagai negara yang paling banyak terlibat dalam langganan streaming musik premium dengan 61 persen , diikuti oleh Meksiko dengan 57 persen, Jerman 55 persen, AS 53 persen, dan Selandia Baru dengan 52 persen. Sedangkan pada industri perfilman, aplikasi streaming subscription video on-demand (SVOD) seperti Netflix, Disney, HBO, dan lain-lain.
Secara global, Netflix memimpin menjadi aplikasi video streaming dengan pengguna terbanyak sebanyak 301,63 juta pengguna pada kuartal IV tahun 2024, disusul dengan YouTube dengan 145 download pada tahun 2024.
Di Indonesia, budaya streaming mulai menyebar secara signifikan pada tahun 2010-an, dan semakin pesat pada tahun 2015 ke atas seiring dengan perkembangan akses internet dan penggunaan smartphone. Pada industri rekaman, streaming musik ada 212,9 juta pengguna pada tahun 2024 dengan cakupan 77 persen penduduk Indonesia.
YouTube Music memimpin dengan 44,18 persen pengguna sebagai platform musik dengan pengguna terbanyak, disusul Spotify dengan 31 persen. Pada industri film, Vidio sebagai over-the-top OTT lokal memimpin dengan 4 juta pelanggan di Indonesia sepanjang 2023, disusul dengan Viu, Disney Plus Hotstar, dan Netflix. Menurut Media Patners Asia, ada 21 juta pelanggan OTT pada kuartal III/2023.
Fenomena ini dapat dijelaskan melalui budaya populer dengan mengunakan teori industri budaya dari Theodor W. Adorno dan Max Horkheimer pada bukunya Dialetika Pencerahan. Konsep ini menjelaskan bagaimana produksi massal budaya seperti film, musik, dan televisi dapat berfungsi untuk memanipulasi massa dan menghalangi kesadaran kritis.
Sektor ekonomi memproduksi, mendistribusikan, dan mengkomersialkan produk-produk budaya populer secara massal. Industri budaya mengacu pada sistem produksi budaya secara massal, yang menciptakan produk budaya homogen dan standar demi keuntungan, bukan demi nilai artistik atau kebebasan ekspresi. Konsumen tak diberikan pilihan sejati karena semua produk disesuaikan dengan selera pasar yang dikonstruksi oleh produsen.
Adorno menyatakan, meskipun konsumen merasa memiliki pilihan, pada kenyataannya pelanggan hanya memiliki variasi terbatas yang terbentuk yang sama. Contohnya Spotify memberikan kesan “personalized playlist” seperti Discover Weekly. Tapi hasilnya tetap berasal dari pola konsumsi massal. Kemudian Netflix yang menampilkan “Rekomendasi untuk Anda”. Padahal sebagian besar rekomendasi itu tetap berada pada pola pasar global dan algoritma prediksi yang seragam.
Kemudian konsumen merasa “unik” dalam pilihan mereka, padahal mereka diarahkan untuk menyukai hal-hal yang sama dengan jutaan pengguna lain. Dalam pandangan Jean Baudrillard tentang konsumerisme, ia menjelaskan konsumerisme tak hanya sekadar tindakan membeli barang untuk kebutuhan, tetapi sebagai fenomena budaya dan simbolik.
Dalam pandangan Baudrillard, konsumsi adalah cara manusia membentuk identitas dan makna, tak sekadar memenuhi fungsi ultitarian. Jika dikaitkan dengan budaya konsumsi aplikasi berlangganan, dalam konteks ini kita mengonsumsi tanda dan citra, bukan barang tersebut (aplikasi berlangganan). Contohnya, seseorang berlangganan Spotify atau Netflix tak hanya untuk menikmati musik atau film, tapi juga untuk menampilkan diri sebagai orang yang up-to-date, kreatif, atau berbudaya digital, yang kemudian aplikasi itu menjadi penanda status “saya menonton serial yang sedang trending” atau “saya tahu musik indie terbaru”. Dapat disimpulkan, yang dikonsumsi bukan hanya konten, tapi identitas sosial yang ditampilkan melalui pilihan konten. (*)










