Oleh : Ronny P. Sasmita (Analis Senior Indonesia Strategic and Economics Action Institution)
Pemerintah akhirnya menetapkan Soeharto sebagai pahlawan nasional, keputusan yang diumumkan dalam formalitas khas birokrasi dibalut narasi penghormatan pada jasa masa lalu. Alasan yang dikemukakan pemerintah tak jauh dari klise administratif yang selama ini sering dikemukakan bahwa Soeharto adalah pejuang kemerdekaan dari Jawa Tengah yang dinilai berjasa besar dalam membangun bangsa.
Menteri Sosial menyebut bahwa semua syarat telah terpenuhi, seolah pemberian gelar pahlawan hanyalah soal prosedur, bukan soal moral dan sejarah. Namun di balik kalimat-kalimat yang manis sekaligus menyakitkan tersebut, keputusan ini, dalam hemat saya, mengguncang nurani banyak warga negeri ini yang masih menyimpan ingatan pahit atas kekerasan, pembungkaman, dan ketidakadilan yang berlangsung sepanjang tiga dasawarsa masa Orde Baru.
Pertanyaan paling mendasar adalah mengapa sekarang. Mengapa setelah dua puluh lima tahun reformasi yang lahir dari perlawanan terhadap Soeharto, pemerintah justru memilih untuk menobatkannya sebagai pahlawan nasional. Jawaban yang tersirat tampak lebih politis ketimbang historis, lebih simbolik ketimbang substansial.
Dalam lanskap politik hari ini, langkah tersebut terlihat sebagai upaya meneguhkan kontinuitas kekuasaan, bukan refleksi atas sejarah bangsa. Pemerintah tampak hendak meneguhkan satu pesan, bahwa era Orde Baru tidak seburuk yang selama ini diceritakan, dan bahwa penguasa masa kini tidak jauh berbeda dari penguasa masa lalu yang dianggap berhasil menjaga stabilitas negeri ini.
Padahal, jika merujuk pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Kehormatan, serta Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2010, syarat untuk memperoleh gelar pahlawan nasional bukan hanya soal partisipasi di masa perjuangan kemerdekaan. Ada syarat moral yang lebih mendasar, bahwa calon pahlawan tidak pernah melakukan tindakan yang bertentangan dengan semangat kebangsaan, kemanusiaan, dan keadilan sosial. Dalam hal ini, nama Soeharto justru identik dengan pelanggaran prinsip-prinsip tersebut.
Soeharto mungkin pernah ikut bertempur di masa revolusi, tetapi sejarah yang lebih panjang mencatat bagaimana kekuasaannya menumpuk kekayaan keluarga dan kroninya, menindas oposisi, membungkam media, dan membiarkan ratusan ribu orang terbunuh dalam pembantaian politik 1965–1966. Satu dunia mengetahui bahwa Soeharto memerintah dengan tangan besi selama 32 tahun, memenjarakan aktivis tanpa pengadilan, menutup ruang kebebasan akademik, dan melahirkan generasi yang takut pada negara.










