Reformasi 1998 lahir bukan karena jasa Soeharto, melainkan karena perlawanan terhadapnya. Menobatkan Soeharto sebagai pahlawan berarti mengkhianati semangat reformasi, menghapus makna perjuangan mahasiswa dan rakyat yang menumbangkannya, serta mencederai ingatan para korban yang hingga kini belum mendapatkan keadilan.
Keputusan ini secara simbolik mendelegitimasi gelombang reformasi 1997–1998. Reformasi yang memperjuangkan demokrasi, supremasi hukum, dan transparansi kekuasaan, kini direduksi menjadi catatan pinggir sejarah yang bisa diputarbalikkan sesuai kepentingan politik pemenang kontestasi.
Ironisnya, mereka yang kini paling vokal mendorong penobatan Soeharto adalah sebagian mantan aktivis yang dulu berdiri di barisan depan menuntutnya turun dari tahta. Beberapa di antara mereka kini duduk di pemerintahan, menikmati privilese kekuasaan yang dulu mereka kecam. Manusia-manusia ini tidak sekadar melupakan sejarah, melainkan turut menulis ulang sejarah untuk membenarkan posisi mereka hari ini.
Langkah ini juga menunjukkan arah politik pemerintahan saat ini yang semakin menyerupai pola Orde Baru. Presiden terpilih Prabowo Subianto, yang dulu adalah bagian dari lingkaran militer Soeharto, kini menampilkan gaya kepemimpinan yang berorientasi pada stabilitas, loyalitas, dan kontrol yang kuat atas institusi negara. Beberapa kebijakan yang muncul dalam beberapa tahun terakhir memperlihatkan kecenderungan itu.
Penguatan kembali aparat keamanan dalam urusan sipil, pembatasan kebebasan berekspresi lewat aturan digital, serta konsolidasi elite politik di bawah satu poros kekuasaan adalah pola yang mengingatkan pada logika sentralisasi ala Orde Baru. Program makan bergizi gratis dan hilirisasi sumber daya alam yang dikemas dengan jargon populis juga menyerupai strategi pembangunan Orde Baru yang menukar partisipasi publik dengan janji kesejahteraan semu bin karikatif.
Watak politik Prabowo sendiri mempertegas kemiripan itu. Prabowo mengusung gaya paternalistik, menempatkan diri sebagai sosok penyelamat bangsa yang berdiri di atas kritik, dan kerap berbicara dalam narasi nasionalisme yang menolak “kekacauan” demokrasi. Dalam setiap pidatonya, ada gema nostalgia terhadap masa lalu yang stabil dan kuat, seolah stabilitas lebih penting daripada kebebasan.










