Padahal, demokrasi yang sehat justru tumbuh dari kebisingan, perdebatan, dan kritik yang terbuka. Ketika nostalgia itu dibungkus dengan simbol penghargaan kepada Soeharto, pesan politiknya menjadi jelas, pemerintahan ini sedang menegaskan kesinambungan ideologis dengan Orde Baru.
Lebih menyakitkan lagi, masih banyak korban kekuasaan Soeharto yang hidup hingga kini. Mereka yang pernah disiksa, diasingkan, dicap sebagai simpatisan komunis, kehilangan pekerjaan, kehilangan keluarga, dan hidup dengan trauma berkepanjangan. Banyak dari mereka bahkan belum direhabilitasi secara hukum maupun sosial. Setiap kali nama Soeharto dipuja sebagai pahlawan, luka lama mereka terbuka kembali. Negara bukan hanya gagal menegakkan keadilan, tetapi kini seolah berpihak kepada pelaku sejarah yang menindas mereka.
Dalam konteks inilah, pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto bukan sekadar penghargaan simbolik, melainkan bagian dari rekayasa ingatan kolektif. Keputusan ini menandai pergeseran arah politik yang makin otoritarian, di mana sejarah diperlakukan sebagai alat legitimasi kekuasaan.
Filsuf George Santayana mengatakan, “Mereka yang tidak belajar dari sejarah akan dikutuk untuk mengulanginya.” Tak lupa, pernyataan dari Albert Camus tak kalah tajamnya untuk menggambarkan situasi hari ini, “The welfare of the people in particular has always been the alibi of tyrants.” Kesejahteraan rakyat selalu dijadikan alasan para tiran. Ketika pemerintah menyebut bahwa Soeharto layak karena jasanya membangun bangsa, kita patut bertanya, bangsa siapa yang ia bangun, dan dengan cara apa ia membangunnya.
Ada ironi besar dalam kenyataan hari ini bahwa sebagian besar pendukung langkah ini adalah orang-orang yang dulu menyerukan “Turunkan Soeharto.” Mereka kini berdiri di podium yang sama dengan penguasa yang dulu mereka lawan, membenarkan apa yang dulu mereka kecam. Mungkin kekuasaan memang punya cara sendiri untuk membuat manusia melupakan idealisme. Namun pengkhianatan terhadap sejarah tidak akan pernah bisa sepenuhnya dibungkam, sebab sejarah adalah ingatan kolektif yang hidup di dada para korban dan generasi yang menolak untuk lupa.
Secara politik, keputusan ini juga membuka front baru dalam hubungan kekuasaan. Penobatan Soeharto sebagai pahlawan nasional bisa dibaca sebagai sinyal politik Prabowo untuk mempertegas jarak dengan PDIP dan Megawati Soekarnoputri. Megawati adalah simbol reformasi dan anak dari proklamator yang menjadi musuh politik Orde Baru. Mengangkat Soeharto sebagai pahlawan berarti mengangkat figur yang pernah menumbangkan Soekarno. Dalam bahasa simbolik politik, ini adalah pembalikan sejarah, semacam pernyataan diam bahwa Orde Baru kini resmi direhabilitasi oleh negara, dan kekuasaan telah berpindah dari pewaris Soekarno kepada pewaris Soeharto.










