Kita boleh saja tidak terkejut dengan kalkulasi politik di balik semua ini, tetapi kita tak boleh berhenti marah. Sebab ketika negara menghapus batas moral antara pelaku dan korban, antara penguasa dan rakyat, antara sejarah dan propaganda, maka demokrasi kehilangan maknanya.
Di titik ini, tanggung jawab untuk menjaga akal sehat bangsa tak lagi bisa diandalkan pada pemerintah. Aktivis, organisasi mahasiswa, partai oposisi, dan warga sipil harus berdiri bersama menolak keputusan ini. Mereka perlu menegaskan kembali bahwa pahlawan sejati bukanlah mereka yang berkuasa lama, melainkan mereka yang berani melawan ketidakadilan. Bangsa ini tidak boleh berdamai dengan penindasan hanya karena penindasannya pernah berjasa di masa lalu.
Hari ini, ternyata kita hidup di masa di mana sejarah sedang dipelintir menjadi alat politik. Namun selama masih ada suara yang menolak lupa, selama masih ada mahasiswa yang mau turun ke jalan, selama masih ada korban yang berani bersaksi, maka gelar pahlawan yang diberikan negara kepada Soeharto tak akan pernah mampu mengubah kenyataan bahwa ia adalah simbol dari kekuasaan yang bengis. Bangsa ini membutuhkan pahlawan yang memulihkan keadilan, bukan yang menghapus jejaknya. (*)










