TANAH DATAR, HARIANHALUAN.ID – Institut Seni Indonesia (ISI) Padang Panjang kembali menunjukkan komitmennya dalam penguatan budaya lokal melalui inovasi dan teknologi digital. Melalui program bertajuk “Penguatan Ekosistem Seni dan Ekonomi Kreatif melalui Revitalisasi Sanggar Seni Tali Tigo Sapilin Berbasis Pemasaran Digital di Nagari Tuo Pariangan,” ISI Padang Panjang berupaya menghidupkan kembali aktivitas seni tradisi Minangkabau sekaligus memperkuat ekonomi kreatif masyarakat.
Program ini merupakan bagian dari Program Inovasi Seni Nusantara (PISN) Tahun 2025 yang didukung oleh Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemdiktisaintek). Kegiatan ini dilaksanakan oleh beberapa dosen dari ISI Padang Panjang, yang diketuai oleh Khairunnisa, M.Kom. PISN dilaksanakan di Nagari Tuo Pariangan, Kabupaten Tanah Datar.
Di kaki Gunung Marapi, Nagari Tuo Pariangan yang dikenal sebagai salah satu desa terindah di dunia menyimpan warisan budaya Minangkabau yang berharga. Namun di tengah kemajuan zaman, denyut seni di nagari ini sempat melemah.
Sanggar Seni Tali Tigo Sapilin, yang dulunya menjadi pusat kegiatan budaya dan tari tradisional, perlahan kehilangan gaungnya. Latihan tari tidak lagi dilakukan secara rutin, sehingga mengakibatkan terhambatnya regenerasi penari muda.
Selain itu, promosi kegiatan masih dilakukan dengan cara konvensional. Melihat kondisi tersebut, ISI Padang Panjang berinisiatif untuk melakukan revitalisasi menyeluruh melalui pelatihan tari, manajemen sanggar, dan digitalisasi promosi. Program ini diharapkan dapat mengembalikan fungsi sanggar sebagai pusat seni sekaligus ruang pemberdayaan ekonomi masyarakat.
“Revitalisasi ini tidak hanya tentang menghidupkan kembali tari tradisi, tetapi juga menghubungkan seni dengan ekosistem ekonomi kreatif melalui pendekatan digital. Kami ingin menjadikan Sanggar Tali Tigo Sapilin sebagai model kolaborasi antara akademisi, seniman, dan masyarakat dalam menjaga budaya sekaligus menciptakan peluang ekonomi baru,” ujar Khairunnisa, M.Kom, selaku Ketua Tim Pelaksana, Jumat (14/11).
Dalam program ini, tim dosen dari ISI Padangpanjang ini memberikan pelatihan intensif kepada anggota sanggar dan masyarakat setempat. Kegiatan mencakup pelatihan teknik tari tradisional, manajemen sanggar, serta digitalisasi dan branding seni. Anggota sanggar diberikan pelatihan tari bagi pelajar dan remaja, cara mendokumentasikan pertunjukan, membuat konten promosi, hingga mengelola media sosial seperti Instagram, TikTok, dan YouTube.
Harapannya, Sanggar Seni Tali Tigo Sapilin dapat memberikan pertunjukan tari tradisional yang lebih professional serta dapat memanfaatkan kanal digital secara aktif dengan menampilkan dokumentasi pertunjukan, dan video edukasi budaya yang bertujuan untuk promosi kegiatan seni.
Selain itu, program ini juga menghasilkan modul latihan sederhana serta arsip digital seni tari Minangkabau yang dapat dimanfaatkan oleh generasi muda maupun sekolah-sekolah di sekitar nagari. Dengan dukungan peralatan dokumentasi seperti kamera, lighting portabel, dan perangkat audio sederhana, kegiatan seni kini terdokumentasi dengan baik dan mudah diakses publik.
Revitalisasi Sanggar Tali Tigo Sapilin tidak hanya berhenti pada pelestarian budaya. Program ini juga mendorong munculnya produk turunan seni dan ekonomi kreatif, seperti merchandise, paket workshop tari, dan pertunjukan wisata budaya.
Menurut Rinaldi Putera, selaku pimpinan sanggar, kegiatan ini membuka cara pandang baru terhadap seni sebagai sumber kesejahteraan. “Dulu kami hanya tampil di acara adat. Sekarang kami belajar bagaimana seni bisa dikelola secara profesional dan berkontribusi untuk mendongkrak ekonomi nagari,” ujarnya.
Setelah program berjalan, aktivitas seni di Sanggar Tali Tigo Sapilin kembali hidup. Latihan tari kini rutin dilakukan setiap minggu. Lalu jumlah anggotanya meningkat, dan masyarakat kembali antusias menyaksikan pertunjukan lokal.
Ke depannya, ISI Padang Panjang akan terus melakukan pendampingan dan mendorong sanggar menjadi model pengembangan seni berbasis digital di Sumatera Barat. “Kami ingin membuktikan bahwa teknologi bukan ancaman bagi budaya, tetapi sarana memperkuatnya,” tambah Khairunnisa mengakhiri. (*)














