“Dua sertifikat milik keluarga lainnya, termasuk Sefrita, tidak kunjung ada kabar. Itu yang membuat kami curiga dan mulai mempertanyakan kejelasannya,” ujar Sepriadi.
Ketika Sefrita pulang dari Jakarta pada Oktober 2025 untuk mengecek langsung proses tersebut, ia justru menerima informasi mengejutkan dari pihak BPN, berkas dokumen miliknya tidak ditemukan alias hilang.
“Tentu Sefrita marah dan protes. Ini bukan berkas kecil, bukan dokumen sepele. Ini menyangkut hak tanah keluarga. Bagaimana bisa hilang?” ucap Sepriadi.
Ditawari Buat Berkas Baru, Namun Fakta Baru Terungkap
Beberapa kali mendatangi BPN untuk meminta klarifikasi, Sefrita bahkan mengaku sempat ditawari agar membuat berkas baru melalui program mandiri, jika tidak ingin menunggu terlalu lama. Namun bagi dirinya, tawaran itu justru makin menambah tanda tanya.
“Kalau berkas hilang, lalu disuruh buat baru? Ini tanah warisan, bukan tanah baru. Prosesnya harus jelas, jangan seperti menutupi sesuatu,” katanya.
Tidak lama kemudian, BPN memberikan informasi terbaru bahwa tanah Sefrita memiliki luas 349 meter persegi, namun sekitar 100 meter persegi di antaranya tercatat sebagai milik pihak lain, meskipun sertifikatnya disebut belum terbit.
Namun keesokan harinya, informasi lanjutan muncul. Ternyata tanah seluas kurang lebih 100 meter persegi itu sudah bersertifikat atas nama seseorang berinisial AL.
“Tentu kami sangat tidak terima. Tanah keluarga kami bisa berpindah tangan tanpa sepengetahuan kami. Ini sudah masuk dugaan tindak pidana pertanahan,” ujar Sepriadi.














