Merasa dirugikan dan melihat adanya potensi penyimpangan prosedural, keluarga segera berkoordinasi dengan berbagai pihak mulai dari BPN Kota Padang, Bhabinkamtibmas, Babinsa, hingga Kelurahan Anduring. Langkah berikutnya adalah mengajukan surat pengaduan resmi kepada lurah setempat.
Dalam surat tersebut, keluarga juga mencantumkan dasar hukum dugaan pelanggaran, mulai dari Pasal 167 KUHP (perbuatan melawan hukum memasuki pekarangan orang lain), Pasal 263–264 KUHP (pemalsuan surat), Pasal 385 KUHP (penyerobotan tanah), hingga Perppu 51/1960 tentang larangan pemakaian tanah tanpa izin yang berhak.
“Kami berharap Lurah Anduring dapat menindaklanjuti laporan ini secara serius. Hak keluarga harus dikembalikan dan pihak yang bertanggung jawab harus dimintai pertanggungjawaban,” ucap Sepriadi.
Hingga berita ini diterbitkan, belum ada keterangan resmi dari Lurah Anduring maupun pihak BPN Kota Padang terkait langkah lanjut penanganan kasus ini.
Namun masyarakat sekitar berharap persoalan ini menjadi momentum bagi pemerintah untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap proses PTSL di Kota Padang, terutama terkait pengelolaan berkas dan transparansi sertifikasi.
Kasus ini sekaligus menjadi alarm bahwa persoalan pertanahan masih menjadi pekerjaan rumah besar yang rawan disusupi penyimpangan prosedur, konflik kepemilikan, hingga dugaan permainan oknum. Keluarga Sefrita kini menunggu langkah tegas pemerintah untuk memastikan hak atas tanah warisan mereka kembali seperti sedia kala. (*)














