JAKARTA, HARIANHALUAN.ID- Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, Longki Djanggola menegaskan pentingnya memberikan kewenangan yang lebih besar kepada pemerintah daerah dalam proses penempatan dan distribusi guru, khususnya di wilayah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T). Hal itu ia sampaikan sebagai masukan dalam pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
“Saat saya masih Bupati, penempatan guru-guru di daerah terpencil di 3T itu semua diatur oleh Mendikdasmen sampai dengan SK-nya. Tapi orang-orang yang datang itu mendapatkan resistensi luar biasa di daerah kami, dan bahkan setelah ditempatkan gurunya minta pulang,” ujarnya dalam Rapat Kerja (Raker) Baleg dengan Menteri Agama (Menag) dan Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) di Gedung Nusantara I, DPR RI, Senayan, Jakarta, Rabu (19/11/2025).
Kepergian para guru tersebut, imbuh Longki, berdampak pada sekolahnya yang menjadi rugi. “Luar biasa kerugian yang kami alami. Sekolah kami tetap terlantar, tidak ada guru yang diangkat oleh Mendikdasmen. (Mereka) kembali ke daerahnya dan kita tidak tahu asal-usulnya,” tegasnya.
Longki menjelaskan bahwa setiap daerah memiliki karakteristik sosial dan kebutuhan yang berbeda sehingga proses distribusi guru perlu mempertimbangkan kondisi lokal. Ia menilai pemerintah daerah lebih memahami lingkungan penugasan, sementara pemerintah pusat cukup memperkuat fungsi pembinaan dan pengawasan dalam pelaksanaannya.
Menurutnya, kewenangan distribusi yang terpusat berpotensi menimbulkan ketidaksesuaian antara penempatan guru dan kebutuhan riil di lapangan. Oleh karena itu, ia menilai penting agar perumusan revisi UU mencerminkan pembagian peran yang lebih proporsional antara pusat dan daerah untuk memastikan pemerataan layanan pendidikan berjalan optimal.
Dalam penyampaiannya, Politisi Fraksi Gerindra tersebut turut menambahkan perlunya mempertegas aspek perlindungan hukum bagi guru dan dosen dalam revisi UU sebagai bentuk keberpihakan terhadap tenaga pendidik. Menurutnya, hal ini perlu ditulis secara eksplisit dalam Undang-Undang.
“Harus ada kalimatnya di dalam undang-undang, baru itu betul-betul mereka dijamin dan dilindungi dalam melakukan kegiatan (atau) aktivitasnya di sekolah atau di tempat-tempat profesinya,” tutur Longki. (*)














