Oleh: Bedrizal Zandra
Mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Sumatra Barat
Di tengah derasnya arus digitalisasi dan perubahan sosial yang cepat, Minangkabau menghadapi tantangan identitas yang semakin kompleks, terutama bagi generasi mudanya. Di saat ruang-ruang sosial tradisional melemah dan gawai menjadi “guru baru” bagi pemuda, lembaga paling tua sekaligus paling berpengaruh dalam sejarah peradaban Minangkabau masjid dan surau justru mengalami penyempitan fungsi.
Padahal, di masa kejayaan adat, surau adalah benteng jati diri, pusat pendidikan, pusat musyawarah, asrama anak jantan, dan kawah candradimuka pembentukan karakter.
Kini, ketika nilai ABS-SBK (“Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah”) semakin terdesak oleh budaya instan, konsumtif, dan digital, optimalisasi peran masjid serta surau bukan lagi pilihan tetapi keharusan strategis untuk menjaga keberlanjutan moral, budaya, dan spiritual pemuda Minang.
Sejarah mencatat, surau melahirkan ulama, cendekiawan, politisi, pemimpin adat hingga pejuang bangsa. Surau menjadi rumah kedua bagi pemuda, tempat mereka ditempa menjadi shaleh (cerdas spiritual) dan mushlih (cerdas sosial). Namun kini, menurut survei internal beberapa KAN di Sumatera Barat (2024), lebih dari 70% surau hanya berfungsi sebatas tempat mengaji TPA, tanpa program pembinaan pemuda yang terstruktur. (Sumber data….)
Padahal Islam menekankan pentingnya pendidikan karakter sejak dini. Rasulullah SAW bersabda: “Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban.” (HR. Bukhari)
Optimalisasi peran masjid dan surau berarti mengembalikan ruang ini sebagai pusat pembinaan karakter Islami secara komprehensif: spiritual, intelektual, sosial, dan adat budaya. Ada beberapa langkah strategis yang dapat dilakukan;
Pertama, menjadikan Masjid dan Surau sebagai “Rumah Kedua” Pemuda. Masjid tidak boleh hanya hidup saat azan berkumandang, tetapi harus hidup sepanjang hari. Program yang relevan dengan dunia pemuda perlu dihadirkan. Misalnya, pelatihan keterampilan hidup (life skill); digital skill, editing video dakwah, entrepreneur syariah, hingga pelatihan konten kreatif islami. Hal ini penting, karena menurut BPS 2024, 43% pemuda Minangkabau berkeinginan bekerja di sektor wirausaha, tetapi tidak memiliki pelatihan memadai.
Menghidupkan forum Diskusi Islam Kontemporer. Pengajian tidak hanya berceramah satu arah, tetapi dikemas menjadi diskusi dua arah mengenai isu yang menyentuh kehidupan pemuda yamg menyentuh langsung saat ini seperti etika digital, cyberbullying, tantangan karir dan agama, krisis moral remaja dan solusi Islam.
Pendekatan ini sesuai prinsip Qur’ani “Ajaklah manusia kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik.” (QS. An-Nahl: 125)
Kedua, mengIntegrasikan kembali adat dan syara’, menghidupkan filosofi ABS-SBK. Karena karakter pemuda minang tidak dapat dilepaskan dari adatnya. Surau harus kembali menjadi ruang belajar adat dalam bingkai syariat.
Program yang dapat dilakukan misalnya penguatan nilai-nilai adat dan akhlak, mengaitkan ayat dan hadis dengan pepatah Minang. Contoh, nilai amanah dikaitkan dengan pepatah “Rajo adie rajo disambah, rajo zalim rajo disanggah.” Etika bergaul dikaitkan dengan “Ketek bakawan, gadang bakarajo.”
Ketiga, kolaborasi dengan niniak mamak dan bundo kanduang. Mereka mengisi sesi tentang tambo, sejarah, randai, sasaran silek, hingga filosofi adat. Ini menghidupkan kembali tradisi surau sebagai pusat pendidikan komunal pemuda.
Keempat, program surau smart & digital masjid. Menghadapi pemuda era digital, masjid tidak boleh alergi teknologi. Sebaliknya, harus mengelolanya dengan bijak. Hadirkan ruang belajar modern di masjid. Berukan akses WiFi terbatas, tempat membaca, mentor agama dan akademik. Selain memperluas syiar, kegiatan ini juga menjadi “karya positif” yang mengalihkan mereka dari konten negatif.
Penempaan karakter kepemimpinan surau yang dahulu melahirkan tokoh harus hidup kembali. Program aksi nyata musyawarah remaja masjid (Syuro). Pemuda dilibatkan dalam pengelolaan kegiatan. Mereka belajar menjadi khalifah, berpikir strategis, mengelola konflik, dan mengambil keputusan.
Asrama singkat/kemah surau bisa menjadi program menghidupkan kembali tradisi lama. Anak muda dilatih tahajud, puasa sunnah, gotong royong, kemandirian, manajemen waktu, disiplin tanpa gadget.
Riset menunjukkan bahwa program live-in berbasis spiritualitas dapat meningkatkan disiplin dan empati pemuda hingga 61% (LIPI, 2022).
Sebagai penutup, ini adalah momentum bagi minangkabau untuk kembali menegakkan kejayaan surau sebagai pusat peradaban. Dengan kolaborasi antara Niniak Mamak, Alim Ulama, Cadiak Pandai, Remaja Masjid, serta pemerintah nagari, masjid dan surau dapat menjadi benteng moral yang kokoh bukan hanya tempat ibadah. Masjid dan surau kembali menjadi pusat kecerdasan spiritual, sosial, dan adat budaya.
Karakter pemuda minang yang lahir dari temoaan surau adalah “Urang nan tau di nan ampek, tau di ujuik jo parmato” (orang berilmu luas dan berakhlak tajam.) Dan sebagaimana janji Allah: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum sampai mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka.” (QS. Ar-Ra’d: 11).
Menghidupkan kembali surau adalah ikhtiar membangkitkan kembali nilai-nimai itu. Karena masa depan Minangkabau ada pada karakter pemudanya dan karakter itu lahir dari pendidikan yang dimulai di rumah Allah (*)










