Penulis : Muliani Fauziah, S. Psi
Gangguan mental merupakan salah satu isu kesehatan global yang serius yang dalam beberapa tahun belakang semakin banyak diperbincangkan di masyarakat. Subu et al., (2024) menjelaskan gangguan mental merupakan gangguan serius ynag mempengaruhi cara berpikir, regulasi afektif dan perilaku pada individu yang terkena.
Berdasarkan data umum Kemenkes 2022 yang dimuat pada situs sehatnegeriku.kemkes.go.id, 1 dari 10 orang Indonesia mengalami masalah kesehatan mental.
Meskipun fenomena gangguan mental terus meningkat dari tahun ke tahun secara, tingkat pemanfaatan layanan keshatan mental sendiri ternyata masih tergolong rendah (WHO, 2022).
Salah satu hambatan yang diidentifikasi dalam berbagai studi adalah ada stigma terhadap gangguan mental baik dalam bentuk stigma di public ataupun stigma internal (self-stigma). Stigma terhadap gangguan mental seringkali menjadi penghalang bagi individu untuk mencari bantuan tenaga professional dan mengakses layanan psikologis (Kusumawati et al., 2025).
Pada penelitian (Rethink Mental Illness, 2023) menunjukkan, 3 dari 5 individu dengan gangguan mental tidak mencari bantuan professional karena kekhawatiran terhadap persepsi publik.
Stigma sering muncul karena adanya streotipe negatif, ketidaktahuan, serta prasangka yang melekat pada masyarakat yang akhirnya mengisolasi individu dengan gangguan mental dari dukungan sosial yang diperlukan (Johnson & Lee, 2023).
Garcia et al., (2023) dalam penelitiannya menemukan bahwa stigma secara signifikan menurunkan kemungkinan keputusan individu untuk mengakses layanan professional. Hal ini bahkan ketika individu tersebut sudah menyadari adanya kebutuhan untuk penanganan lebih lanjut.
Dengan latar budaya yang masih kental, masyarakat hari ini, cenderung masih menganggap dan memandang gangguan mental adalah sebuah aib dan hal yang tidak berhubungan dengan kondisi medis. Hal ini sejalan dengan yang (Kumar & Patel, 2023). Ia menyebutkan dalam penelitiannya, bahwa memang sebagian besar penduduk masih menganggap bahwa gangguan mental berkaitan dengan hal-hal mistik atau moral, dan bukan kondisi yang memerlukan penanganan ahli professional.
Dengan munculnya stigma-stigma negatif terkait gangguan mental dalam masyarakat ini, tentu saja akan menjadi salah satu masalah yang berkelanjutan jika tidak diperhatikan dan ditumpas dengan benar.
Sebab dengan adanya stigma seperti itu, akan banyak orang yang khawatir dan ragu untuk datang ke tenaga professional karena mereka akan di cap sebagai orang “aneh”, “gila” maupun “tidak normal”.
Kekhawatiran seperti ini tentunya akan memperkuat mekanisme penyangkalan di tengah-tengah masyarakat dan menimbulkan perilaku menghindari tindakan mencari bantuan professional.
Ketika kekhawatiran seperti ini berlanjut, individu biasanya akan lebih cenderung untuk bercerita kepada teman, keluarga maupun orang yang dianggap dekat dan dapat dipercaya, karena bentuk dukungan seperti ini kadang dianggap sebagai bentuk dukukungan yang tidak berisiko terhadap reputasi diri pribadi mereka. Akan tetapi ketika masalah yang dihadapi individu ini sudah mengganggu fungsinya dalam keseharian, bantuan informal sering kali tidak cukup.
Namun kembali lagi, stigma yang melekat di tengah-tengah masyarakat akan tetap menahan mereka untuk menghindari menghubungi tenaga profesional. Sehingga kondisi psikologis dapat semakin memburuk jika tidak ditangangi lebih lanjut dan tepat.
Pertanyaannya kemudian adalah bagaimana caranya agar stigma terkait dengan gangguan mental yang sudah melekat di tengah masyarakat ini dikikis. Sehingga muncul kesadaran agar dapat mencari bantuan tenaga professional dan mendatangi layanan kesehatan.
Dalam lingkup psikologi dikenal istilah mental health literacy atau yang dapat diartikan sebagai literasi tentang kesehatan mental.
Jika individu memiliki pengetahuan dan pemahaman yang baik terhadap kesehatan mental ini tentunya akan menjadi pondasi penting dalam mewujukan kesejahteraan psikologi. Konsep ini dikenal sebagai kesadaran kesehatan mental atau mental health literacy (Jorm et al., 1997).
Pengetahuan, keyakinan dan keterampilan dalam memanajemen masalah kesehatan mental merupakan hal penting yang harus dimiliki individu agar masalah psikologis dapat ditangani lebih dini dan tepat. Individu dengan pengetahuan tentang gejala dan akses terhadap layanan profesional kesehatan mental dapat membantu individu lain yang mengalami permasalahan psikologis (Jung et al., 2016). Pengetahuan tentang gangguan mental, sikap terhadap masalah kesehatan mental, kemampuan mencari bantuan dan keterampilan dalam pertolongan diri serta dukungan sosial merupakan komponen utama literasi kesehatan mental yang jelaskan oleh (Jung et al., 2016).
Literasi kesehatan mental yang baik akan mendorong penanganan masalah kesehatan mental yang lebih dini sebelum masalah menjadi lebih besar.
Dalam konteks kesehatan mental, literasi kesehatan mental akan berperan sebagai fasilitator atau pendorong perilaku untuk mencari bantuan tenaga professional. Mengapa bisa dikatakan begitu? Hal ini sesuai dengan defenisi yang telah diterangkan sebelumnya bahwa pengetahuan dan kemampuan individu dalam mengenali apa saja gejala gangguan mental ini akan memudahkan individu dalam menyadari masalah apa yang sedang dihadapinya dan tentunya ini akan mendorong individu tersebut untuk mengambil langkah rasional untuk menyelesaikan masalah atau tekanan yang sedang dihadapinya.
Dengan demikian, tingkat literasi kesehatan mental yang tinggi dan baik menjadi kunci dalam usaha membangun kesadaran, mengurangi stigma dan meningkatkan sikap mencari bantuan professional ketika menghadapi masalah psikologis (O‘Connor et al., 2014).
Untuk mencapai hal tersebut, penting bagi individu untuk memiliki literasi kesehatan mental yang baik dan tepat.
Literasi kesehatan mental yang dikemas dengan penyampaian yang terstrukur, menarik dan interaktif perlu dilakukan agar individu memiliki pemahaman, kesadaran serta keterampilan yang mumpuni dalam menghadapi masalah psikologis yang dihadapi, sehingga individu dapat berfungsi secara optimal dalam kehidupan sosial maupun akademik.
Selain itu strategi intervensi yang menggabungkan edukasi kesehatan mental dan pengurangan stigma juga menjadi sangat penting dalam meningkatkan kesejahteraan psikologis masyarakat.
(*)











