Oleh : Wandi Malin (Wartawan Haluan)
Yang.. hujan turun lagi..Lirik lagu Antara Benci tapi Rindu milik Ratih Purwasih ini selalu menjadi pameo di masyarakat.
Lagu sendu nan melankolis ini sangat populer pada era 80-an. Ia menjadi penanda kepiluan yang datang seiring turunnya hujan. Bagi masyarakat yang hidup pada era sekarang, lagu ini tetap populer. Dimana hujan masih menjadi elegi. Tiap kali hujan, bencana datang.
Hujan turun lagi, dan seperti sebuah siklus yang tak pernah putus, banjir kembali datang. Begitu benarlah kenyataannya di Kabupaten Solok dan sekitarnya. Hari ini, Kabupaten dan Kota Solok kembali direndam banjir. Entah berapa korban dan kerugian, masih dalam pendataan.
Setiap musim hujan, masyarakat seakan hidup dalam ketidakpastian. Menunggu apakah air hanya lewat sebatas genangan, atau berubah menjadi bencana yang meluluhlantakkan lahan pertanian, irigasi, dan permukiman.
Tiap tahun, ratusan hektar sawah porak-poranda. Ladang rusak, saluran irigasi tersumbat lumpur, bahkan bendungan pun tak luput dari tekanan debit air yang tiba-tiba melonjak. Banjir dan longsor menyapu hampir seluruh kecamatan di Kabupaten Solok, dan dampaknya merembet pula ke wilayah tetangga seperti Kota Solok.
Mereka yang tidak berada langsung di kawasan rawan pun tetap merasakan imbasnya, terutama gangguan aktivitas ekonomi dan sosial yang tak bisa dihindari.
Namun bencana ini bukanlah kutukan alam. Ia lahir dari sebab yang jelas, kerusakan ekologis. Persis setahun yang lalu, saya iseng membuka aplikasi google earth. Sebuah potret mengejutkan terlihat, kerusakan alam yang luar biasa telah terjadi di pedalaman hutan bukit barisan.
Ratusan hektar hutan di kawasan cadangan air Bukit Barisan telah habis ditebangi. Pohon-pohon yang semestinya menjadi penjaga stabilitas air, pengikat tanah, dan benteng alami terhadap longsor, kini hanya tinggal cerita.
Hutan itu sejatinya menjadi daerah serapan air. Ia adalah hulu yang mengalir ke sungai-sungai seperti Parak Gadang Salayo dan Batang Gawan Kota Solok. Air hujan yang mestinya diserap perlahan oleh akar pepohonan, kini mengalir deras tanpa hambatan, membawa lumpur dan batu, menerjang apa pun yang dilewatinya.
Kerusakan hutan tak hanya terjadi di satu titik. Tapi nyaris di banyak tempat. Batang Lembang yang membelah wilayah Kabupaten dan Kota Solok selalu menjadi pelanggan tetap banjir kiriman yang datang tiap tahun itu.
Membuka lahan baru untuk dijadikan lahan perkebunan dan pertanian masih tetap menjadi alasan klasik untuk melakukan pembenaran pembalakan hutan secara membabi buta.
Kondisi ini pernah jadi bahan kunyah-kunyah saya dan dengan beberapa kawan yang peduli (Genta dan Mul Ciban). Kalau tak ada tindakan nyata dari pemangku kepentingan, tetap saja akan takah itu jadinya.
Dalam situasi seperti ini, kehadiran pemerintah seharusnya bukan sekadar lewat konten empati atau kunjungan seremonial ke lokasi banjir. Masyarakat tidak membutuhkan unggahan dramatis di media sosial yang kadang memuakkan.
Yang diperlukan adalah komitmen nyata untuk mengurai akar persoalan. Menegakkan hukum terhadap pembalakan liar, memperkuat rehabilitasi hutan, membenahi tata ruang, serta memastikan seluruh pembangunan infrastruktur mengikuti prinsip mitigasi bencana.
Banjir tahunan tidak akan berhenti hanya dengan pengerukan sungai atau pembangunan tanggul darurat. Selama hutan terus digunduli, selama daerah resapan air terus diubah menjadi lahan ekonomi tanpa perhitungan, dan selama peringatan para ahli diabaikan, bencana hanya tinggal menunggu waktu untuk berulang. Lebih besar, lebih merusak.!!
Masyarakat sudah terlalu sering menjadi korban. Mereka tidak seharusnya menanggung dampak dari kesalahan tata kelola lingkungan yang berlangsung bertahun-tahun. Sudah saatnya pemerintah turun dari menara retorika ke langkah nyata. Jika akar persoalan tidak dibenahi, maka banjir hanya akan menjadi judul berita yang terus berulang, dari tahun ke tahun.
Ingat tuan, hujan memang tak bisa kita kendalikan. Tapi banjir? Itu sepenuhnya tanggung jawab kita.***










