Penulis : Fazri Inayah Yofa Hasugian, S. Psi
Di balik hiruk pikuk aktivitas belajar dan deretan jadwal ujian, terdapat satu kekuatan mental yang diam-diam menopang banyak siswa SMA. Itulah optimisme. Fenomena ini menarik karena muncul di tengah tekanan akademik yang semakin meningkat era ini.
Siswa dituntut meraih nilai tinggi, lolos seleksi perguruan tinggi, dan menyesuaikan diri dengan perubahan kurikulum yang cepat. Di sisi lain, media sosial menghadirkan kompetisi baru melalui perbandingan pencapaian antar siswa.
Namun, banyak siswa justru tetap menunjukkan keyakinan bahwa masa depan bisa berjalan baik selama mereka berusaha.
Para peneliti menyebut optimisme sebagai “benteng psikologis” yang membantu remaja menghadapi tekanan akademik tanpa kehilangan harapan (Carver & Scheier, 2014).
Fenomena ini perlu dikaji lebih jauh karena optimisme tidak hanya menjadi bagian dari kepribadian, tetapi juga menjadi modal penting untuk bertahan dan berkembang di lingkungan sekolah yang penuh tuntutan.
Optimisme pada siswa SMA tampak bukan sekadar sikap positif, tetapi cara pandang yang memengaruhi bagaimana mereka membaca realitas akademik yang sering kali penuh tekanan.
Scheier dan Carver (2018) menjelaskan optimisme sebagai kecenderungan mengharapkan hasil terbaik dan keyakinan bahwa segala upaya memiliki peluang membawa perubahan.
Dalam konteks sekolah, optimisme mendorong siswa untuk bertanya pada diri sendiri.
“Apa yang bisa aku lakukan?” dibanding “Bagaimana jika aku gagal?”.
Cara pandang seperti ini penting karena remaja menghadapi fase perkembangan psikologis yang sarat ketidakpastian, terutama terkait identitas, kemampuan akademik, dan masa depan.
Tekanan akademik muncul dalam berbagai bentuk: tugas menumpuk, ujian berlapis, tuntutan masuk universitas favorit, hingga ekspektasi lingkungan.
Lazarus dan Folkman (1984) menekankan bahwa tekanan menjadi berat bukan karena jumlah tugas semata, tetapi karena bagaimana siswa menilai situasi tersebut.
Siswa yang optimis cenderung melihat tekanan sebagai tantangan yang dapat dihadapi.
Penelitian Putri dan Indrawati (2021) menunjukkan bahwa siswa optimis memiliki tingkat stres akademik lebih rendah dan mampu mempertahankan kejelasan tujuan belajar, bahkan ketika harus menghadapi kegagalan sementara.
Di sisi lain, optimisme juga berkaitan dengan performa akademik.
Studi yang dilakukan Salami (2011) menyebutkan bahwa siswa dengan disposisi optimis memiliki motivasi yang lebih stabil dan ketekunan yang kuat dalam mengerjakan tugas sulit.
Mereka lebih percaya pada kemampuan sendiri, lebih efektif menyusun strategi belajar, dan tidak mudah menyerah saat menghadapi kendala. Secara tidak langsung, optimisme membentuk pola perilaku akademik yang lebih disiplin dan terarah.
Menariknya, optimisme siswa tidak hadir begitu saja. Ada banyak faktor yang memengaruhi pembentukannya. Lingkungan keluarga menjadi fondasi pertama. Dukungan emosional dari orang tua, perhatian terhadap proses belajar, serta apresiasi atas usaha terbukti dapat membangun kepercayaan diri anak (Bandura, 1997).
Remaja yang tumbuh dalam lingkungan suportif lebih mudah mengembangkan perasaan bahwa upaya mereka berarti dan berpengaruh terhadap hasil.
Iklim sekolah juga memainkan peran besar.
Andayani dan Hidayat (2020) menemukan bahwa sekolah dengan suasana suportif baik dari guru, fasilitas, maupun kultur akademik dapat meningkatkan harapan dan optimisme siswa. Guru yang memberi umpan balik konstruktif dan memberi ruang siswa untuk mencoba tanpa takut disalahkan turut menciptakan pengalaman belajar positif. Siswa tidak hanya belajar materi pelajaran, tetapi juga belajar bahwa kegagalan adalah bagian dari proses menuju keberhasilan.
Selain dua faktor utama tersebut, pertemanan juga memengaruhi kadar optimisme remaja. Wentzel (2017) menyebutkan bahwa hubungan sebaya yang sehat dapat meningkatkan kepercayaan diri, menumbuhkan dorongan berprestasi, dan menciptakan suasana belajar yang lebih ringan.
Siswa yang berada dalam lingkungan pertemanan suportif cenderung lebih tenang menghadapi tugas sulit, karena ada ruang untuk berdiskusi, saling bertukar strategi, bahkan sekadar saling menguatkan.
Resiliensi menjadi faktor internal lain yang tidak dapat dipisahkan dari optimisme. Reivich dan Shatté (2002) menjelaskan bahwa siswa yang tangguh cenderung mampu melihat kesulitan sebagai kesempatan bertumbuh.
Ketangguhan ini membuat siswa tidak mudah putus asa ketika menghadapi hasil belajar yang tidak memuaskan. Pada akhirnya, resiliensi membuat optimisme lebih stabil dan tidak mudah goyah.
Dalam konteks pendidikan di Indonesia, perhatian terhadap kesehatan mental siswa, termasuk optimisme, mulai meningkat.
Banyak sekolah telah mengembangkan program pembinaan karakter, layanan konseling, dan pelatihan keterampilan sosial-emosional. Intervensi berbasis psikologi positif seperti hope training atau kegiatan refleksi diri terbukti efektif meningkatkan optimisme siswa (Snyder, 2002).
Bila diaplikasikan di sekolah, pendekatan ini dapat memperkuat daya juang siswa menghadapi tekanan akademik.
Di sisi lain, era digital menghadirkan tantangan baru. Media sosial sering memunculkan standar tinggi melalui paparan pencapaian teman sebaya.
Hal ini berpotensi membuat siswa merasa kurang mampu. Namun, dengan literasi digital yang baik, media sosial justru bisa menjadi sumber motivasi dan ruang belajar alternatif. Siswa dapat mengakses pengalaman orang lain, modul pembelajaran, hingga cerita inspiratif yang memupuk harapan.
Fenomena optimisme siswa SMA di tengah tekanan akademik menegaskan bahwa optimisme bukan sekadar sikap pasif, melainkan strategi bertahan yang terbukti membawa dampak nyata.
Kuncinya, jika dikelola dengan baik, optimisme dapat menjadi dorongan internal yang membantu siswa menghadapi tuntutan akademik tanpa kehilangan arah dan tujuan. Optimisme menjadi modal penting bagi siswa SMA dalam menghadapi tekanan akademik yang semakin kompleks. Dengan cara pandang yang mengarah pada harapan positif, siswa lebih mampu mengelola stres, meningkatkan motivasi, dan mempertahankan ketekunan belajar.
Optimisme juga dipengaruhi oleh dukungan keluarga, iklim sekolah positif, lingkungan pertemanan sehat, serta resiliensi pribadi. Karena itu, sekolah dan keluarga memiliki peran strategis dalam memupuk optimisme melalui pendekatan pendidikan yang suportif dan humanis. Ketika siswa memiliki optimisme yang sehat, tekanan akademik bukan lagi sesuatu yang mengancam, melainkan tantangan yang dapat membentuk karakter dan kesiapan mereka menghadapi masa depan. (*)










