Penulis : Ghina Wadhia, S. Psi
Menjadi anak tunggal identik dengan akses perhatian penuh dan ruang pribadi yang besar. Namun, posisi ini menyimpan dinamika emosional yang lebih kompleks, terutama dalam hal bagaimana mereka menghadapi konflik tanpa kehadiran saudara sebagai tempat berbagi.
Konflik bagi anak tunggal bukan hanya konflik dengan orang lain, tetapi juga pergulatan internal seperti pengelolaan emosi, kesepian, dan tekanan ekspektasi keluarga.
Menurut Annisa (2024), minimnya interaksi dengan saudara membuat anak tunggal jarang berlatih menghadapi perselisihan sehari-hari. Akibatnya, mereka cenderung kurang terlatih dalam regulasi emosi dan bisa merasa kewalahan ketika harus berhadapan dengan konflik sosial di luar rumah.
Pengalaman pertama menghadapi konflik interpersonal sering terjadi di sekolah atau lingkungan sosial. Sehingga tidak jarang respons mereka dapat terlihat lebih sensitif atau defensif.
Meski begitu, kesendirian tidak selalu menjadi sumber kerentanan. Banyak anak tunggal justru mengembangkan kemandirian emosional melalui proses memahami konflik secara internal sebelum meminta bantuan orang lain.
Satata (2021) menunjukkan bahwa anak tunggal memiliki kecenderungan kuat dalam self-disclosure independent. Yaitu, kemampuan merefleksikan pikiran dan perasaan, lalu memilih figur signifikan untuk berbagi.
Mekanisme ini membantu mereka meredakan konflik batin sekaligus memperoleh perspektif baru.
Dalam konteks yang lebih menekan, seperti keluarga dengan orang tua tunggal atau kondisi sosial ekonomi rendah, konflik yang dihadapi anak tunggal menjadi lebih berlapis.
Riyanda dan Soesilo (2018) menemukan bahwa anak tunggal di situasi ini harus berhadapan dengan tuntutan kedewasaan yang lebih cepat. Tanpa saudara yang bisa menjadi teman berbagi stres, mereka belajar membaca situasi keluarga, memahami beban orang tua, dan mengembangkan resiliensi yang tinggi.
Tekanan tersebut justru membentuk ketangguhan, kemampuan adaptasi, dan pola pikir realistis. Namun, kerentanan tetap ada. Anak tunggal sering memikul ekspektasi besar sebagai “satu-satunya harapan” keluarga. Rasa takut mengecewakan orang tua dapat memperparah konflik internal saat mereka mengalami masalah pribadi. Ketika dukungan emosional dari orang tua terbatas, kesepian dapat menjadi sumber stres tambahan.
Di sisi lain, banyak anak tunggal memanfaatkan kesendirian sebagai ruang refleksi. Lingkungan yang lebih tenang mendorong mereka untuk terbiasa menganalisis masalah secara mendalam sebelum mengambil keputusan.
Ketika pola pemikiran ini berkembang, mereka cenderung memiliki identitas yang kuat dan tidak mudah terpengaruh tekanan sosial.
Peran orang tua menjadi krusial dalam dinamika ini. Orang tua yang terlalu protektif dapat menghambat kemampuan anak tunggal dalam mengelola perbedaan pendapat, sementara orang tua yang terlalu kritis dapat membuat anak merasa sendirian dalam menghadapi beban emosional.
Dukungan yang seimbang antara memberi ruang belajar dan menyediakan tempat berlindung adalah kunci terbentuknya keterampilan menghadapi konflik.
Pada akhirnya, kemampuan anak tunggal dalam menghadapi konflik merupakan hasil kombinasi dari pengalaman emosional, pola asuh, kondisi keluarga, dan dukungan sosial.
Mereka mungkin tampak menghadapi konflik seorang diri, tetapi proses tersebut justru membangun kemandirian, resiliensi, dan kedalaman refleksi diri.
Kesendirian yang mereka alami bukan sekadar kekosongan, tetapi ruang yang menumbuhkan kekuatan batin dan pemahaman diri yang lebih matang. (*)










