Selain itu, mereka menuntut sanksi terhadap Universitas Baiturrahmah Padang dan rumah sakit yang diduga memfasilitasi aktivitas koas Cerrint Tasya, serta meminta BPKP melakukan pemeriksaan dengan tujuan tertentu untuk mendalami dugaan gratifikasi.
Desakan dengan substansi serupa juga dikirimkan secara resmi oleh Badan Koordinasi Himpunan Mahasiswa Islam (BADKO HMI) Sumbar.
Organisasi tersebut menilai dugaan rangkap jabatan dan pelanggaran etik ini bukan persoalan sepele dan harus disikapi tegas demi menjaga marwah lembaga perwakilan daerah.
Tekanan publik sebenarnya semakin menguat, namun dua kali batalnya aksi PPNI Sumbar menunjukkan adanya ketidaksinkronan antara komitmen di atas kertas dan pelaksanaan di lapangan.
Ketidakhadiran massa bukan hanya mencederai efektivitas gerakan, tetapi juga berdampak langsung pada beban keuangan negara. Pengamanan yang telah disiapkan sepenuhnya menjadi sia-sia, sementara anggaran tetap berjalan.
Kasus ini semestinya menjadi pemicu evaluasi terhadap mekanisme pemberitahuan aksi di Sumatra Barat. Ruang demokrasi memang dijamin konstitusi, namun pelaksanaannya harus tetap mempertimbangkan efisiensi anggaran negara dan profesionalisme semua pihak yang terlibat.
Hingga saat ini, PPNI Sumbar belum memberikan penjelasan terkait absennya massa selama dua hari berturut-turut. Sementara itu, Polresta Padang menegaskan bahwa bila aksi hendak digelar kembali, surat pemberitahuan baru wajib disampaikan sesuai prosedur. (*)














