Oleh : Bernanda Zakki Insani, S. Psi
Perkembangan teknologi digital telah mengubah wajah pendidikan secara drastis. Proses belajar yang sebelumnya berlangsung di ruang kelas kini berpindah ke lingkungan virtual yang terbuka, interaktif, dan serba cepat.
Internet memberikan kebebasan luas bagi siswa untuk mengakses informasi, berkolaborasi, dan mengembangkan kreativitas. Namun di balik kemudahan tersebut, muncul beragam risiko yang sering kali luput dari perhatian.
Dalam lanskap digital yang semakin kompleks, siswa menghadapi tantangan baru yang berpotensi mengancam keselamatan, privasi, dan kesehatan psikologis mereka.
Menurut OECD (2020), lebih dari 80 persen pelajar usia 10–18 tahun menggunakan internet setiap hari, baik untuk keperluan akademik maupun sosial. Tingginya intensitas penggunaan ini tidak selalu diiringi kemampuan memahami ancaman digital. Cyberbullying, kebocoran data, manipulasi daring, hingga paparan konten berbahaya menjadi bagian dari pengalaman online yang semakin umum. Di sinilah pentingnya literasi risiko internet bukan sekadar keterampilan teknis, tetapi kompetensi psikologis yang memungkinkan siswa berpikir kritis dan membuat keputusan aman di dunia maya.
Literasi risiko internet pada dasarnya adalah kemampuan memahami potensi bahaya serta mengelola interaksi digital secara bijaksana. Nguyen (2022) menjelaskan bahwa literasi ini mencakup kesadaran kognitif dan sosial yang mendorong siswa mampu menilai ancaman digital secara mandiri.
Dalam pembelajaran digital yang semakin intens, kemampuan ini tidak bisa lagi dianggap sebagai pengetahuan tambahan, tetapi menjadi kebutuhan mendasar.
Risiko digital yang dialami siswa terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Smahel et al. (2020), melalui survei global pada remaja, melaporkan peningkatan paparan risiko online hingga 40 persen, terutama terkait pertemanan virtual, penggunaan media sosial, dan aktivitas platform terbuka.
Temuan lain yang tidak kalah mengkhawatirkan datang dari penelitian besar yang dilakukan oleh Kowalski et al. (2019). Penelitian ini menemukan bahwa 15–35 persen pelajar pernah menjadi korban cyberbullying, dan sekitar 10 persen lainnya berperan sebagai pelaku.
Dampak psikologisnya meluas mulai dari kecemasan, depresi, hingga penurunan motivasi dan prestasi akademik.
Risiko privasi digital juga semakin menonjol, terutama karena siswa belum sepenuhnya memahami bagaimana data pribadi mereka bekerja di internet.
Barth dan de Jong (2017) mencatat bahwa 60 persen siswa tidak mengetahui bagaimana data mereka dikumpulkan dan disebarkan oleh platform digital.
Minimnya kesadaran ini membuat remaja rentan membagikan informasi sensitif tanpa menyadari potensi pencurian identitas atau penyalahgunaan data.
Sementara itu, temuan penting lainnya datang dari Livingstone et al. (2018) yang menyoroti peran keluarga dalam meminimalkan risiko digital. Ketika orang tua aktif memantau dan berdiskusi dengan anak tentang pengalaman daring mereka, risiko yang dihadapi dapat berkurang hingga 30 persen. Artinya, keamanan digital tidak hanya bergantung pada keterampilan siswa, tetapi juga pada lingkungan sosial yang mengelilinginya.
Dalam konteks pendidikan, sekolah memegang peran kunci dalam membangun literasi risiko internet yang kuat. Pembelajaran mengenai keamanan digital perlu diintegrasikan secara sistematis ke dalam kurikulum.
Guru tidak hanya berperan menyampaikan konsep teknis, tetapi juga menjadi pendamping yang membantu siswa memahami batasan, etika, dan strategi aman dalam beraktivitas online.
Pelatihan bagi guru menjadi penting agar mereka mampu merespons dinamika risiko digital yang terus berkembang.
Selain itu, sekolah perlu menyediakan ruang aman bagi siswa untuk melaporkan pengalaman buruk di internet tanpa takut disalahkan.
Upaya ini dapat memperkuat rasa kepercayaan dan keterhubungan, yang pada akhirnya membantu siswa lebih berani mengambil tindakan ketika menghadapi situasi berbahaya di dunia maya.
Pada akhirnya, tantangan terbesar bukan terletak pada teknologinya, tetapi pada kesadaran kolektif dalam memanusiakan ruang digital bagi siswa. Literasi risiko internet bukan hanya tentang mengajarkan cara menggunakan perangkat, tetapi tentang membekali siswa dengan kemampuan membuat keputusan bermakna, aman, dan bertanggung jawab.
Ketika siswa memahami risiko, didukung oleh guru, serta dipandu oleh orang tua, mereka tumbuh sebagai generasi digital yang kritis, berdaya, dan mampu melindungi dirinya di dunia maya. (*)










