Musfi Yendra
Ketua Komisi Informasi Sumatera Barat
Dalam dinamika kehidupan berbangsa saat ini, peran media semakin strategis sebagai kanal informasi, ruang diskursus publik, sekaligus mitra negara dalam memastikan pembangunan berjalan transparan dan berkeadilan. Di tengah derasnya arus informasi yang sering tidak berimbang, masyarakat semakin membutuhkan media yang kuat, informatif, dan berintegritas.
Media tidak hanya berfungsi sebagai penyampai kabar, tetapi juga sebagai pilar pemersatu bangsa. Dalam konteks inilah penting menegaskan kembali kemitraan media dengan pemerintah—baik pusat maupun daerah—serta lembaga publik seperti Komisi Informasi, agar ekosistem informasi nasional berjalan sehat dan demokratis.
Kehadiran media yang kuat sejatinya dilindungi oleh kerangka hukum nasional. Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999 menegaskan kebebasan pers sebagai hak fundamental yang harus dijaga negara. Kebebasan tersebut disertai tanggung jawab sosial untuk menghadirkan informasi yang akurat, berimbang, dan tidak mencederai kepentingan publik.
Undang-undang ini menempatkan media sebagai lembaga sosial yang memiliki fungsi strategis: mengedukasi masyarakat, melakukan kontrol sosial, serta menghubungkan kebijakan negara dengan kebutuhan rakyat. Di sisi lain, Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) Nomor 14 Tahun 2008 menegaskan hak rakyat untuk mengakses informasi dari badan publik.
Keduanya saling melengkapi: pers membutuhkan informasi terbuka, sementara keterbukaan membutuhkan media yang bertanggung jawab untuk menyebarkannya.
Dalam skala nasional, media memiliki kontribusi besar dalam mengawal pembangunan. Pemerintah membutuhkan mitra informasi yang mampu menjelaskan agenda pembangunan, menyampaikan capaian, dan membedah persoalan di lapangan dengan jernih.
Pada saat yang sama, media menjalankan fungsi kritis untuk memastikan pemerintah berjalan di jalur yang benar. Di sinilah media menjadi jembatan penghubung antara kebijakan negara dan aspirasi rakyat. Dengan informasi yang benar dan mudah diakses, partisipasi publik meningkat, dan akuntabilitas pembangunan semakin kuat. Media membantu mendorong narasi pembangunan yang inklusif, memastikan tidak ada kelompok masyarakat yang tertinggal dari arus kemajuan.
Peran media di tingkat daerah tidak kalah penting. Media lokal sering kali menjadi sumber informasi paling dekat dengan masyarakat. Mereka mengangkat isu-isu lokal, mempromosikan potensi daerah, dan mengawasi jalannya pemerintahan daerah.
Dalam pembangunan berbasis partisipasi, media daerah berfungsi sebagai motor pergerakan sosial yang mendorong transparansi anggaran, pelayanan publik, serta kebijakan daerah yang lebih responsif. Di era otonomi daerah, kapasitas media lokal untuk mengawal demokrasi dan pembangunan menjadi semakin relevan.
Peran media di tingkat daerah bahkan menjadi lebih nyata dan relevan. Media lokal adalah pihak yang paling dekat dengan denyut nadi masyarakat. Media lokal mengangkat isu-isu lokal, mempromosikan potensi daerah, sekaligus mengawasi jalannya pemerintahan.
Dalam konteks pembangunan berbasis partisipasi, media daerah menjadi motor pergerakan sosial yang mendorong transparansi anggaran, pelayanan publik, serta inovasi kebijakan.
Dalam konteks keterbukaan informasi, keberadaan Komisi Informasi (KI) menjadi institusi penting. Lembaga ini bertugas menegakkan pelaksanaan UU KIP, memastikan badan publik memenuhi kewajiban menyediakan informasi, serta menyelesaikan sengketa informasi melalui mekanisme mediasi dan ajudikasi.
Komisi Informasi juga melakukan monitoring dan evaluasi keterbukaan informasi publik, yang mendorong kompetisi sehat antar badan publik untuk meningkatkan kualitas pelayanan informasinya. Kehadiran KI memperkuat ekosistem informasi nasional dengan memastikan hak publik terlindungi, sekaligus memperkuat posisi media dalam memperoleh data yang dapat dipertanggungjawabkan.
Dengan keterbukaan yang terjaga, media dapat menjalankan tugas jurnalistik secara profesional dan tidak tergantung pada sumber-sumber yang tidak valid.
Secara teoretis, hubungan antara media, pemerintah, dan masyarakat dapat dijelaskan melalui beberapa kerangka akademik. Teori agenda setting yang dikemukakan McCombs dan Shaw (1972) menjelaskan bahwa media tidak menentukan apa yang harus dipikirkan publik, tetapi menentukan apa yang menjadi perhatian publik.
Dalam konteks pembangunan, media berperan mengarahkan diskursus agar masyarakat memahami isu prioritas seperti pendidikan, kemiskinan, lingkungan, atau layanan publik. Sementara itu, Teori social responsibility dari Siebert, Peterson, dan Schramm (1956) menegaskan bahwa kebebasan pers harus diimbangi tanggung jawab moral untuk menjaga kepentingan masyarakat.
Media harus menjadi kekuatan penjaga integritas bangsa, bukan alat propaganda ataupun sumber disinformasi. Teori development communication dari Everett Rogers juga menggarisbawahi pentingnya media sebagai katalis pembangunan, terutama dalam mendidik masyarakat dan mempercepat perubahan sosial yang positif.
Di tengah tantangan era digital, hoaks, polarisasi informasi, dan algoritma media sosial sering kali merusak harmoni publik. Maka, kemitraan antara pemerintah, media, dan lembaga publik seperti Komisi Informasi menjadi kebutuhan mendesak.
Kemitraan ini bukan untuk mengatur atau mengendalikan media, melainkan memastikan ekosistem informasi tetap sehat, terbuka, dan berorientasi pada kepentingan bangsa.
Kualitas jurnalisme harus diperkuat, literasi publik terus ditingkatkan, sementara pemerintah wajib menghadirkan transparansi yang nyata. Ketika informasi mengalir tanpa hambatan dan media bekerja dengan etika, bangsa ini akan semakin kokoh dan bersatu.
Dalam semangat nasionalisme dan demokrasi, media yang kuat dan berintegritas bukan hanya kebutuhan profesi, tetapi kebutuhan bangsa. Indonesia membutuhkan mitra media yang tidak hanya memberitakan, tetapi juga mempersatukan.
Informasi yang benar adalah fondasi kepercayaan; dan kepercayaan adalah fondasi negara yang kokoh. []
