Oleh: Medi Iswandi
Mahasiswa Program Doktor FEB Universitas Andalas
Di banyak daerah, pembangunan infrastruktur sering dipersepsikan sebagai urusan fisik semata, sekadar proyek jangka pendek yang dihitung melalui nilai investasi dan panjang ruas. Namun bagi Sumatera Barat, persoalan tersebut telah melampaui batas teknis, karena sudah menyangkut persoalan keselamatan warga, ketahanan logistik, keberlangsungan ekonomi, dan masa depan sebuah provinsi yang setiap tahun dikepung bencana.
Sumatera Barat berada di wilayah yang secara geologis dan hidrometeorologis termasuk paling aktif di Indonesia.
Sepanjang 2022 – 2025, lebih dari 250 kejadian bencana tercatat, mulai dari banjir bandang, tanah longsor, cuaca ekstrem, hingga gempa bumi.
Tren bencana hidrometeorologi meningkat signifikan sekitar 40 hingga 60 persen dibanding dekade sebelumnya.Ini menjadikan mobilitas dan pasokan logistik sebagai sektor dengan risiko tertinggi.
Peristiwa lumpuhnya Lembah Anai pada 2024 adalah contoh nyata bagaimana satu titik rentan dapat melumpuhkan seluruh sistem pergerakan provinsi.Air bah menerjang, bebatuan raksasa turun dari lereng, dan jalur Padang – Bukittinggi – yang menjadi salah satu nadi ekonomi Sumatera Barat hilang fungsinya seketika.
Pada saat bersamaan, Sitinjau Lauik juga tertutup longsor, bahkan jalur alternatif Sicincin – Malalak ikut terputus. Kota Padang, yang menopang sekitar seperempat ekonomi Sumatera Barat, praktis terisolasi.
Peristiwa serupa kembali mengancam pada 2025 ini.Dari sini kita melihat rapuhnya mobilitas Sumatera Barat, hanya dua hingga tiga ruas utama yang sejak puluhan tahun lalu dibangun mengikuti tebing dan lereng gunung, namun kini memikul beban lalu lintas tinggi yang terus meningkat setiap tahun.
Setiap hari, sekitar 25 hingga 32 ribu kendaraan bergerak di ruas Padang – Bukittinggi. Sementara Padang – Solok dilalui 20 hingga 24 ribu kendaraan per hari.
Jika digabungkan, lebih dari 50 ribu kendaraan termasuk ribuan truk logistik bergantung pada jalur-jalur yang sekaligus merupakan titik rawan bencana.
Ketika kedua jalur terputus bersamaan, lebih dari 70 persen pergerakan manusia dan barang antara bagian selatan, tengah, dan utara Sumatera Barat berhenti total. Dampak ekonominya pun sangat besar.Untuk menghitung skala kerugian tersebut, pendekatan yang digunakan mengacu pada model perhitungan kerugian yang lazim dipakai Kementerian Perhubungan dan Bappenas, yaitu model yang menggabungkan Lost Time Value, Vehicle Operating Cost, Opportunity Cost, serta Disruption to Supply Chain.
Dengan model ini, kerugian tidak hanya diukur dari aktivitas yang berhenti, tetapi juga dari nilai waktu yang hilang, biaya bahan bakar yang meningkat, peluang ekonomi yang tertunda, hingga terganggunya rantai pasok di seluruh provinsi. Berdasarkan pendekatan tersebut, setiap hari ketika jalur Padang – Bukittinggi lumpuh, sekitar dua ribu truk logistik tidak dapat bergerak, menunda perputaran barang senilai 85 hingga 110 miliar rupiah.
Estimasi kerugian ekonominya mencapai 35 hingga 45 miliar rupiah per hari.
Ketika Padang – Solok terputus, nilai kerugian harian mencapai 30 hingga 40 miliar rupiah, terutama karena terganggunya pasokan pangan, energi, dan hasil industri.
Jika kedua jalur ini terputus bersamaan potensi kerugian meningkat menjadi 70 hingga 95 miliar rupiah per hari. Dalam lima hari saja, kerugian dapat menembus 350 hingga 450 miliar rupiah.
Dampak sosial dari kondisi tersebut bahkan lebih mengkhawatirkan. Rumah sakit dapat kehabisan oksigen dan obat-obatan dalam waktu 48 – 72 jam.
Pabrik tidak dapat beroperasi karena kekurangan bahan baku. Harga pangan melonjak dalam hitungan hari karena pasokan terhenti. Distribusi bantuan bencana tersendat, sementara mobilitas masyarakat nyaris berhenti. Dengan resiko sebesar itu, tidak berlebihan jika persoalan infrastruktur di Sumatera Barat dinilai sebagai persoalan kemanusiaan.
Dalam konteks inilah, percepatan pembangunan jalan tol menjadi kebutuhan strategis.Ruas Padang – Sicincin yang sudah selesai, serta kelanjutan Sicincin – Padang Panjang – Bukittinggi hingga Bukittinggi – Payakumbuh – 50 kota – Pangkalan yang kini telah ditetapkan sebagai Proyek Strategis Nasional melalui Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor 16 Tahun 2025. Penetapan ini adalah momentum penting untuk menghadirkan jalur transportasi yang lebih aman, lebih andal, dan lebih tangguh menghadapi bencana.
Tol tidak hanya menghubungkan kota ke kota namun juga menciptakan jalur aman yang tidak melewati titik-titik paling rawan longsor, menyediakan rute darurat ketika jalan nasional tertutup, serta memastikan logistik dapat bergerak dalam kondisi apa pun. Dengan topografi Sumatera Barat yang kompleks, tol bukan sekadar alternatif, tol adalah infrastrukur yang secara geologis dan ekonomis diperlukan untuk jangka panjang.
Penetapan PSN ini bukan sekadar regulasi, tapi merupakan keputusan negara bahwa Sumatera Barat memang layak mendapatkan infrastruktur yang tangguh, aman, dan strategis untuk masa depannya. Dengan status PSN, kita memiliki kesempatan emas yang tidak boleh disia-siakan.
Pemerintah pusat memberikan dukungan penuh dalam pembebasan lahan, sinkronisasi tata ruang, percepatan penlok, serta penyederhanaan perizinan. Namun percepatan ini hanya akan menjadi kenyataan bila kita di Sumatera Barat bersatu padu, mulai pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, tokoh adat, alim ulama, cadiak pandai, niniak mamak, serta masyarakat yang tanahnya dilalui.
Negara dan wilayah lain telah membuktikan manfaatnya, biaya logistik turun drastis, efisiensi meningkat, dan investasi datang lebih deras.Sumatera Barat tidak boleh terus bergantung pada jalan sempit yang melintasi lereng-lereng curam. Karena itu, pertanyaannya bukan lagi apakah Sumatera Barat membutuhkan jalan tol atau tidak.
Pertanyaannya adalah sampai kapan kita sanggup menanggung kerugian besar, isolasi berkepanjangan, dan risiko keselamatan warga akibat infrastruktur yang terlalu rapuh untuk terus mengemban beban di masa depan?
Kita perlu bicara dari hati ke hati kepada semua lapisan masyarakat bahwa pembangunan jalan tol bukan ancaman bagi kehidupan mereka, tetapi penyelamat bagi generasi hari ini dan generasi masa depan.
Tol bukan merampas tanah, melainkan sebagai pertahanan menghadapi bencana yang setiap saat datang tanpa memberi tahu, membuka peluang ekonomi baru, membangkitkan perdagangan, meningkatkan harga tanah sekitar, dan menghubungkan nagari-nagari kita ke pusat pertumbuhan ekonomi yang lebih luas.
Tugas pemerintah adalah mengantar pembangunan ini sampai selesai, dengan cara yang benar, transparan, dan adil. Memastikan masyarakat mendapatkan ganti rugi yang layak, kepastian masa depan yang jelas, dan manfaat ekonomi yang nyata.
Semua kita sangat pasti tidak menginginkan Sumatera Barat terus menerus berada dalam siklus ; bencana – terputus – terisolasi – lumpuh – bangkit sebentar – jatuh lagi. Siklus ini sudah terlalu lama berlangsung. Jalan tol adalah kesempatan kita untuk memutus siklus itu.
Tol bukan hanya sekedar jalan beton dan aspal tapi jalan menuju masa depan, jalan menuju Sumatera Barat yang tangguh, jalan menuju ekonomi yang tidak lagi tunduk kepada bencana, dan jalan yang akan memastikan bahwa apa pun yang terjadi di kemudian hari, masyarakat Sumatera Barat tetap aman, tetap terhubung, dan tetap bergerak maju.
Sekali lagi, tugas kita bersama mempercepat, memastikan, dan mengawal pembangunan ini hingga selesai. Karena masa depan Sumatera Barat tidak boleh menunggu. (*)










