BUKITTINGGI HARIANHALUAN.ID — Di balik headline bencana yang cepat hilang dari layar televisi, ada kisah sederhana yang menyimpan makna besar. Kisah itu datang dari Peramin (Pemanah Ranah Minang), komunitas relawan yang lahir dari kecintaan pada budaya dan solidaritas sosial.
Tanpa dukungan dana besar, mereka bergerak dengan semangat gotong royong, menembus medan berat demi satu hal: memastikan warga terdampak tidak merasa ditinggalkan.
Menembus Longsor, Membawa Harapan
Rizal Salayan bersama tim Peramin berjalan kaki menembus longsor di Malalak. Jalur yang biasanya ramai kini tertutup tanah dan batu. Bantuan berupa nasi bungkus dan obat-obatan mereka bawa dengan cara estafet, berpindah tangan dari satu relawan ke relawan lain.
“Turun ke lokasi bencana membuat kita sadar betapa kecilnya rasa syukur kita. Warga di sana tidak memikirkan besok, mereka hanya bertanya: apa yang bisa dimakan hari ini,” ucap seorang relawan.
Nasi Bungkus yang Menguatkan
Di posko pengungsian, nasi bungkus bukan sekadar makanan, melainkan penguat semangat. Posko I menampung 20 kepala keluarga, sementara di Sungai Landia warga masih menunggu bantuan harian.
“Alhamdulillah, nasi bungkus ini jadi penguat kami. Anak-anak bisa makan, meski seadanya,” kata Yuliana, seorang ibu yang mengungsi bersama dua anaknya. Kalimat itu menggambarkan betapa sederhana bantuan, namun begitu berarti.
Cuaca dan Doa di Jalan Licin
Langit Bukittinggi sempat cerah, lalu mendung kembali menggantung. Relawan sadar, perjalanan mereka bukan hanya soal fisik. Doa menjadi energi tambahan.
“Semoga Allah lindungi,” tulis seorang relawan di grup komunikasi. Doa itu menyertai langkah di jalan licin dan berbahaya.
Transparansi di Tengah Kesulitan
Setiap bantuan diusahakan terdokumentasi, meski dalam kondisi gawat dokumentasi sering kali terbatas. “Yang penting bantuan sampai, meski dokumentasi seadanya,” ujar seorang koordinator. Transparansi tetap dijaga, meski dengan foto dan video sederhana.
Donasi yang Menyebar
Rp2.700.000 berhasil dikumpulkan dari 18 donatur dengan nominal beragam. Ada yang menyumbang Rp50.000, ada pula Rp500.000. Semua dicatat rapi, semua dianggap sama berharganya. Relawan di Payakumbuh, Solok, dan Padang menjadi simpul distribusi, memastikan bantuan tersebar merata.
Solidaritas yang Hidup
Gerakan Peramin bukan hanya soal nasi bungkus atau obat-obatan. Ia adalah simbol bahwa solidaritas masih hidup. Bahwa di balik berita duka, ada tangan-tangan yang terulur tanpa pamrih. Bahwa di balik jalan longsor, ada langkah kecil yang membawa harapan.
Relawan Peramin tetap berjalan. Dengan doa, dengan semangat, dengan keyakinan bahwa setiap langkah mereka adalah bagian dari amal yang akan dikenang. (*)














