AGAM, HARIANHALUAN.ID – Di balik hiruk-pikuk proses evakuasi korban banjir bandang (galodo) di Salareh Aia, Kecamatan Palembayan, Kabupaten Agam, terdapat satu sosok yang sejak detik pertama menjadi tempat warga meminta pertolongan.
Ia adalah Serka Ridwan Alamsyah, Bhabinsa Nagari Salareh Aia, pria yang oleh masyarakat setempat kini disebut sebagai pejuang kemanusiaan.
Ia bercerita, ketika material lumpur dan kayu gelondongan menghantam pemukiman pada Kamis sore itu, situasi berubah gelap seketika. Listrik padam, sinyal terputus, dan warga dilanda kepanikan.
Dalam kondisi serba terbatas, Serka Ridwan Alamsyah mengingat bagaimana ia hanya bisa berharap malam cepat berlalu.
“Waktu kejadian sore hari, listrik langsung mati. Kita tak bisa berbuat banyak karena kondisi gelap total,” ujarnya, Sabtu (29/11).
Baru keesokan paginya ia mulai bergerak melakukan evakuasi pertama. Tanpa alat lengkap, ia menelusuri tumpukan lumpur dan puing sisa rumah warga, ditemani rasa was-was namun juga tekad kuat untuk menemukan siapa pun yang mungkin tertimbun.
Selama dua hari proses pencarian itu, ia mengaku telah menemukan delapan jasad, mulai dari korban yang masih utuh, seorang bayi, hingga orang dewasa yang tidak lagi dapat dikenali, bahkan potongan tubuh yang berserakan di aliran lumpur.
“Yang saya temukan bermacam-macam. Ada yang masih utuh, ada bayi, ada yang sudah tak bisa dikenali lagi. Bahkan ada potongan tubuh,” tuturnya dengan suara pelan.
Di tengah suasana duka dan ketakutan, banyak warga sebenarnya ingin ikut mengevakuasi, namun trauma dan kejutan membuat mereka tak sanggup mendekati lokasi.
Serka Ridwan Alamsyah menyadari situasi itu. Ia memilih turun lebih dulu, memperlihatkan bahwa evakuasi harus segera dilakukan demi memastikan tak ada korban yang terlewat.
“Masyarakat awalnya tak berani mengevakuasi. Mereka takut. Jadi saya turun duluan. Setelah itu barulah warga ikut. Saya hanya berusaha menguatkan mereka,” katanya.
Keberaniannya memicu keberanian warga lain. Banyak di antara mereka yang akhirnya kembali bangkit, bekerja bersama, saling menopang di tengah keterpurukan.
Di mata warga Salareh Aia, sikap Serka Alamsyah bukan hanya bagian dari tugas, melainkan wujud ketulusan seorang aparat yang berdiri paling depan untuk masyarakat yang ia dampingi.
Di tengah serpihan rumah dan pekat bau lumpur yang menyelimuti nagari itu, kisah Serka Ridwan Alamsyah menjadi pengingat bahwa kemanusiaan sering lahir dari tindakan sederhana. Keberanian untuk menjadi orang pertama yang melangkah, ketika yang lain masih terperangkap ketakutan.
Sosoknya kini menjelma penyemai harapan, bahwa meski galodo merampas banyak hal, semangat untuk bertahan tetap menemukan jalannya. (*)














