SOLOK KOTA, HARIANHALUAN.ID— Sejak banjir besar melanda Kota Solok pada 25 November 2025 lalu, sosok Wali Kota Ramadhani Kirana Putra tampak hadir di hampir setiap sudut kota yang porak-poranda.
Di tengah derasnya hujan, di antara lumpur yang menutup jalan, hingga ke titik-titik banjir yang paling sulit dijangkau, Ia duduk bersama warga yang berteman cahaya lilin di pekatnya malam. Kehadirannya bukan sebagai pejabat yang datang dalam kunjungan seremonial, tetapi sebagai seorang anak nagari yang tak tega melihat warganya dirundung duka.
Hari-hari Ramadhani dalam sepekan terakhir nyaris tanpa jeda. Pagi hari ia berangkat dari rumah, langsung menuju lokasi banjir. Sore hingga malam, ia memimpin rapat koordinasi di balai kota untuk memastikan seluruh unsur penanganan bencana bergerak dengan cepat.
Tubuhnya mungkin lelah, namun langkahnya tak pernah menunjukkan ragu. Ada tenaga simpanan yang entah dari mana datangnya atau barangkali dari rasa tanggung jawab yang tak terbendung. Entahlah..
Di balik ketegaran wajahnya, terdapat kepedihan yang sesekali menyembul. Kota Solok memang kecil, namun luka akibat banjir kali ini terasa begitu dalam. Lebih dari tiga ribu jiwa terdampak. Rumah-rumah terendam, jalan-jalan dan lahan pertanian tertutup lumpur, dan sebagian warga harus mengungsi di tengah ketidakpastian cuaca.
Minggu (30/11/2025), di kawasan Gawan, Kelurahan Tanah Garam, pascabanjir masih menyisakan pemandangan yang memilukan lumpur setinggi mata kaki atau bahkan setinggi lutut orang dewasa menutup jalan, perabotan rumah tangga berserakan, dan aroma lembab khas banjir masih menyeruak. Di sana, Wali Kota Ramadhani berjalan kaki menyusuri gang-gang sempit berlumpur, menyalami warga satu per satu, menanyakan kondisi mereka, memastikan tak ada yang terlewat dalam pendataan maupun bantuan, dengan wajah nan humanis dan bersahaja.
Tanpa ragu, ia bergabung bersama para relawan anak-anak muda, ibu-ibu, petugas kebersihan, hingga anggota BPBD, TNI, Polri yang bekerja sejak pagi membersihkan material lumpur yang menumpuk. Tangannya ikut memegang sekop, mendorong tumpukan lumpur ke tepi jalan agar alat berat dapat lebih mudah menyingkirkannya.
Di sisi jalan, sebuah ekskavator bergerak perlahan, mengangkat endapan lumpur yang menutup akses utama. Percikan air kotor berhamburan setiap kali bucket besi itu menghantam tanah yang menggumpal. Suara mesin bercampur jerit instruksi relawan, menjadikan kawasan itu seperti medan kerja raksasa yang berpacu dengan waktu.
Ramadhani sesekali berhenti, melihat pekerjaan alat berat, memastikan jalur yang tertutupi lumpur segera terbuka kembali. Ia berbicara dengan warga yang rumahnya rusak. Ada yang menangis sambil menceritakan detik-detik air menerjang. Ada pula yang hanya mampu menghela napas panjang, masih tak percaya musibah sebesar ini terjadi di kota sekecil Solok.
Yang dilakukan Wali Kota hari itu bukan sekadar meninjau. Ia menyerap penderitaan warganya, menyimpannya di hati, lalu menerjemahkannya menjadi energi untuk terus bergerak.
“Kita tidak sendiri. Banyak yang turun membantu. Mari kita pulihkan kota ini bersama-sama,” ujarnya kepada warga dan relawan.
Kalimat itu sederhana, tetapi menjadi penyemangat bagi banyak orang di sana. Para relawan yang sudah bekerja sejak pagi kembali mengangkat sekop dengan lebih bersemangat. Para ibu yang sedang membersihkan rumah mereka mengangguk, seakan percaya bahwa kota ini memang tidak dibiarkan sendirian menghadapi duka.
Banjir kali ini adalah yang terbesar dan terparah dalam catatan Kota Solok. Namun, di tengah kesedihan itu, muncul semangat gotong royong yang kembali mengikat warganya. Dari aparat pemerintah, relawan, hingga masyarakat biasa, semuanya bergerak dalam satu arah memulihkan kota, mengembalikan harapan.
Dan di tengah semua itu, sosok Wali Kota Ramadhani Kirana Putra berdiri bukan hanya sebagai pemimpin, tetapi sebagai bagian dari mereka, seorang warga yang turut merasakan luka kotanya, namun tetap memilih untuk berada di garis depan, berharap bahwa setiap langkah kecil yang ia lakukan dapat mempercepat pulihnya Solok dari bencana.
Sebuah potret humanis tentang bagaimana sebuah kota kecil berjuang bangkit, dipimpin oleh seseorang yang percaya bahwa kepedulian adalah kekuatan terbesar di masa-masa sulit. (*)














