Oleh: Rahmat Hidayat
(Pemerhati Nagari)
Aroma persaingan politik di tingkat nagari kian terasa menjelang Pemilihan Wali Nagari (Pilwana) serentak di Kabupaten Pesisir Selatan pada 17 Desember 2025. Di lapau kopi, obrolan warga mulai memanas: siapa yang maju? siapa yang didukung? Media sosial pun ramai dengan poster digital, jargon, dan narasi yang dibangun para bakal calon. Meski kesannya sederhana, Pilwana sesungguhnya menyentuh ruang sosial paling intim di masyarakat.
Pada Pemilu Bupati dan Wakil Bupati tahun 2024, tingkat partisipasi pemilih di Kabupaten Pesisir Selatan hanya mencapai 59,7 persen. Penulis percaya, angka partisipasi pada Pilwana kali ini akan lebih tinggi. Pemilihan wali nagari selalu dekat dengan akar rumput: antar kandidat saling mengenal, pemilih mengetahui latar belakang calon, bahkan hubungan kekerabatan masih sangat kuat. Tidak diperlukan panggung besar pencitraan; warga sudah tahu siapa calon itu, bagaimana rekam jejaknya, dan bagaimana ia bergaul selama ini.
Buta terburuk adalah buta politik. Sikap apatis masyarakat pada Pilwana akan menghasilkan pemimpin yang salah, bahkan bisa merusak masa depan nagari. Pemimpin nagari bukan sekadar orang “bermodal baik”, tidak hanya santun atau ramah. Ia harus kompeten: mampu mengelola pemerintahan, memimpin tanpa gagap, mengambil keputusan, dan memahami persoalan nagari secara langsung.
Mengutip teori Bloom, pengetahuan mempengaruhi sikap dan perilaku. Karena itu, sebelum mencoblos, masyarakat perlu menimbang kriteria calon pemimpin nagari, minimal: Integritas, jujur, amanah, transparan. Paham adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah (ABS-SBK). Mampu mengayomi dan menyatukan suku atau kelompok sosial. Kompeten dalam administrasi pemerintahan dan pengelolaan anggaran. Komunikatif, berwibawa, sopan, menenangkan, dekat dengan masyarakat. Melek digital dan teknologi informasi. Memiliki visi, misi, serta program yang realistis, terukur, dan sesuai kebutuhan nagari.
Pengalaman buruk Pemilu 2024 menjadi alarm: praktik politik uang marak, canggih, dan sulit dibuktikan. Pembagian sembako, bantuan, hingga pemberian terselubung adalah bentuknya yang paling kasat mata. Jabatan Wali Nagari kini menjanjikan pendapatan, periode jabatan panjang, serta peluang lonjakan karier politik. Maka kursi ini menjadi rebutan. Jika politik uang tidak dicegah dan ditindak tegas, hasil Pilwana hanya memperpanjang kerusakan demokrasi di kampung kita. Masyarakat harus ikut mengawasi, bukan sekadar menjadi penonton.
Pilwana bukan ajang memilih pemimpin suku, tetapi pemimpin nagari.
Sudah saatnya masyarakat bergerak dari pemilih tradisional menuju pemilih rasional, keputusan politik berbasis akal sehat, bukan kekerabatan. Bila sukuisme mendominasi, maka yang lahir bukan pemimpin nagari, tetapi kepala kelompok yang mempersempit ruang sosial.
Dinamika Pilwana akan bersinggungan dengan Pemilu 2024 dan Pemilu 2029.
Elit politik yang pernah bertarung akan ikut bermain: membangun basis, membalas budi, atau mengamankan jejaring kekuasaan. Dukungan bisa dilakukan terang-terangan, bisa juga diam-diam. Ketika rujukan utama Pilwana bergeser dari kepentingan nagari ke kepentingan politik elite, masyarakatlah yang akan dirugikan.
Politik nagari harus menjadi arena adu ide, bukan adu uang.
Calon Wali Nagari mesti mampu membaca potensi nagarinya: Nagari pesisir, potensi laut, perikanan, wisata bahari. Nagari pertanian, peluang sektor padi, jagung, gambir, hortikultura, peternakan. Nagari perdagangan, UMKM, pasar tradisional, ekonomi kreatif.
Badan Usaha Milik Nagari (BUMNag) dan koperasi Merah Putih harus diberdayakan, bukan hanya status formalitas. Gagasan besar harus dikemas menjadi visi, misi, dan program konkret: siapa mendapatkan apa, bagaimana caranya, berapa biayanya, dan kapan dieksekusi.
Selain sumber daya, relasi sosial juga menentukan seberapa dekat calon dengan niniak mamak, tokoh masyarakat, pemuda. Bahkan hubungan ranah rantau adalah modal penting. Pemimpin nagari harus bisa menjembatani, bukan memutus tali perantauan.
Pilwana bukan medan permusuhan.
Tanpa pengelolaan konflik yang baik, perbedaan pilihan hanya akan memicu keretakan sosial. Prinsip Pilwana badunsanak harus kembali dipagari oleh Tigo Tungku Sajarangan: niniak mamak, alim ulama, dan cadiak pandai. Mereka adalah penyangga nilai yang menjaga agar demokrasi tidak merusak persaudaraan.
Inti Pilwana adalah memilih pemimpin, bukan memutus hubungan kekerabatan.
Biduak lalu, kiambang batawik.
Pemilihan usai, kehidupan di nagari harus kembali utuh. (*)










