Dalam konteks itulah Tan Malaka mendambakan adanya “soviet,” yang bermakna dewan pemerintahan, sebagai organisasi politik tunggal dengan partai politik tunggal, seperti (baru saja saat itu) diterapkan di Uni Soviet atau kelak di China dan Vietnam. Dari sini jelas bahwa negara dan corak pemerintahan yang diidamkan Tan Malaka tak hanya berbeda dengan corak negara yang kemudian digagas sejumlah tokoh pergerakan nasional lainnya, tetapi juga tidak sama dengan negara (hasil) Proklamasi 1945.
Selanjutnya, dalam buku Naar de Republiek Indonesia, Tan Malaka berpikir lebih jauh lagi tentang wujud negara yang akan dibentuk, sekalipun pemikiran tentang corak negara tanpa melalui jalan parlemen kembali dipertegas. Brosur ini tak hanya menjadi semacam rancangan dasar bernegara versi Tan Malaka, dalam aspek ekonomi, politik, sosial, pendidikan, militer, dan polisi, tetapi juga panduan bagi (pelaksanaan) revolusi Indonesia, mulai dari perjuangan menghapus kolonialisme dan imperialisme sampai upaya-upaya menggulingkan kapitalisme dari negeri ini.
Menurut Tan Malaka, pada saat itu, partai-partai yang ada, termasuk Budi Oetomo, Indische Partij, dan Sarekat Islam, belum memiliki rumusan tuntutan ekonomi dan politik, meskipun mereka memegang satu kata: kemerdekaan. Tan bahkan juga menyorot PKI. Partai proletar ini sejauh itu belum dapat mengorganisasikan apa yang sebenarnya ingin dicapainya.
Termasuk ketika kelak imperialisme berhasil dienyahkan. Padahal, “setiap gerakan revolusioner yang tidak memiliki landasan teori yang jelas dan tujuan atau program revolusioner yang terorganisir dengan baik, tidak akan berhasil dan (bahkan) akan menjadi alat kapitalisme”.
Tan Malaka juga menyadari kecilnya jumlah kaum proletar di Indonesia untuk tujuan melakukan revolusi. Ia berpikir, dukungan golongan non-proletar lain, seperti pedagang kecil dan petani kecil, sangat penting. Kerja sama proletar dan nonproletar dalam suatu permusyawaratan nasional sebagai organisasi tunggal menjadi kunci untuk keberhasilan revolusi, sekalipun dia mengakui kadar revolusioner kaum nonproletar masih bersifat parsial, yakni hanya untuk menumbangkan imperialisme saja. Masalah kepemilikan yang menjadi dasar kehidupan kaum non proletar menjadi kendala ketika perjuangan dilanjutkan untuk menghancurkan kapitalisme demi mewujudkan “masyarakat tanpa kelas”.
Sejumlah penulis yang menelaah pemikiran Tan Malaka menyebut pemikiran politik tokoh asal Suliki, Sumatera Barat itu merupakan pemikiran yang orisinil. Seorang pejuang revolusioner yang idealis atau “Revolusioner yang Kesepian” (Alfian, 1978). Namun yang perlu dipahami, Tan melontarkan pemikirannya tentu sesuai pula dengan konteks zamannya, ketika mula terjadi pertentangan ideologi yang keras antara komunisme dan kapitalisme menyusul keberhasilan Revolusi Bolshevik di Rusia pada 1917.











