Penulis: Atika Maida, S. Psi
Magang merupakan fase penting dalam pendidikan psikologi karena memberikan kesempatan bagi individu untuk menerapkan teori ke dalam praktik lapangan. Pada lembaga psikologi yang menangani klien anak, praktisi magang tidak hanya mempelajari teknik asesmen dan intervensi, tetapi juga menghadapi dinamika emosional yang kompleks. Kondisi psikologis anak yang beragam, mulai dari gangguan perilaku, masalah emosi, hingga kesulitan perkembangan menempatkan praktisi magang pada posisi yang rentan mengalami tekanan psikologis (Setiawan & Thenarianto, 2021).
Magang di biro psikologi yang menangani terapi anak merupakan fase penting dalam profesionalisasi calon psikolog. Pengalaman ini mengharuskan mereka menavigasi situasi klinis yang menantang, mengembangkan keterampilan asesmen, intervensi, dan etika profesional sesuai standar APA (2015).
Bekerja dengan klien anak menuntut sensitivitas tinggi, regulasi emosi, dan kemampuan membangun hubungan terapeutik, tantangan yang dapat memicu stres emosional signifikan, terutama bagi praktisi magang dengan pengalaman klinis terbatas (Smith et al., 2022).
Tuntutan Emosional dan Tantangan Fleksibilitas Intervensi
Praktisi magang di biro psikologi anak menghadapi tekanan emosional tinggi karena bertanggung jawab memberikan terapi efektif. Dalam psikoterapi anak, mereka harus memahami perkembangan anak, merespons emosi, melakukan observasi komprehensif, dan berkomunikasi efektif (Boyd & Ivey, 2023).
Kesiapan emosional menjadi penting, meliputi kemampuan teknis serta dinamika emosional kompleks seperti keterbatasan komunikasi, impulsivitas, dan kebutuhan bermain sebagai media terapi.
Menangani klien anak menghadirkan tantangan yang berbeda dari penanganan klien dewasa. Anak sering mengekspresikan emosi secara impulsif, kesulitan bekerja sama, serta membutuhkan pendekatan berbasis permainan. Praktisi magang kerap menemui situasi ketika rencana intervensi tidak dapat dijalankan akibat penolakan anak.
Hal ini terkonfirmasi melalui wawancara dengan seorang praktisi magang yang menyatakan:
“Kalau ada anak yang banyak ‘nggak maunya’ selama kegiatan, kadang aku sudah menyusun rencana dan mempersiapkan semuanya. Tapi pas mulai terapi, anaknya nggak mau mengikuti. Jadi harus pakai effort lebih buat ngebujuk anak atau cari cara lain yang menarik. Selain itu, aku dan yang lain juga konsul ke psikolognya. Kami sampaikan progres dan kendalanya, nanti psikolognya kasih saran dan kami pakai saran itu”.
Kondisi ini menegaskan bahwa fleksibilitas merupakan keterampilan penting dalam terapi anak. Praktisi magang perlu beradaptasi cepat menghadapi perilaku anak yang tidak terduga (Boyd & Ivey, 2023). Fleksibilitas ini mencakup kemampuan attending dan joining, yaitu memasuki dunia anak dan membangun hubungan tanpa paksaan.
Tekanan untuk memberikan layanan efektif sesuai etika kompetensi memperberat beban psikologis, sehingga praktisi harus cepat pulih dari kegagalan dan mengevaluasi pendekatan yang lebih tepat.
Kompleksitas Kasus dan Intervensi Individual
Selain masalah kerja sama, tantangan lain muncul ketika menangani anak dengan emotional and behavioral disorders (EBD). Anak dengan EBD sering menunjukkan regulasi emosi yang buruk, perilaku eksternal seperti tantrum atau agresivitas, serta sulit mempertahankan perhatian selama sesi terapi. Kondisi ini dapat menimbulkan tekanan emosional bagi praktisi magang, terutama ketika mereka merasa kurang kompeten menghadapi situasi yang tidak terduga.
Menghadapi perilaku eksternal yang intens dari anak EBD secara berulang dapat memicu reaksi stres fisiologis dan risiko compassion fatigue pada praktisi magang. Situasi ini menuntut mereka untuk mengaktifkan mekanisme regulasi diri yang kuat agar tidak bereaksi secara defensif atau emosional di ruang terapi, menjaga fokus klinis di tengah tekanan yang berat.
Praktisi magang biasanya bekerja dengan berbagai profil klien, seperti anak autisme, anak dengan gangguan perilaku, masalah sensorik dan motorik, hingga hambatan perkembangan. Dalam wawancara, praktisi magang menjelaskan:
“Aku seringnya handle anak autism… tapi autism-nya beda-beda. Ada yang komunikasinya belum ada, ada yang emosinya nggak stabil. Kemudian aku juga pernah handle anak ADHD maupun disleksia”
Pernyataan ini sejalan dengan prinsip individualized intervention, yang menekankan bahwa setiap anak autisme membutuhkan program terapi yang disesuaikan dengan profil kekuatan dan kebutuhannya.
Tantangan lebih lanjut pada anak lainnya dijelaskan ketika praktisi menyampaikan adanya hambatan motorik halus dan integrasi sensori: “Dia itu memegang pensil saja masih susah… bahkan menjepit baju pakai jepitan pun nggak bisa. Kalau disuruh jalan di rumput, dia nggak mau sama sekali.”
Hal ini menunjukkan adanya hambatan dalam kemampuan motorik halus dan integrasi sensori. Terapi dilakukan secara bertahap, misalnya melalui latihan menyentuh rumput atau bermain slime sebagai bentuk habituasi sensori. Kesulitan-kesulitan tersebut mengharuskan praktisi magang untuk memiliki kesabaran tinggi dan kemampuan mengatur ekspektasi, terutama ketika progres anak berlangsung sangat perlahan.
Dinamika Kelelahan Emosional dan Kepuasan Profesional
Tantangan yang dihadapi praktisi magang tidak hanya bersifat teknis, tetapi juga emosional. Emotional exhaustion merupakan salah satu risiko yang sering dialami trainee psikologi (Maslach & Leiter, 2016). Salah satu pengalaman menggambarkan tekanan tersebut:
“Pernah sehari itu tiga anak EBD… pulang ke rumah rasanya mau nangis terus. Energi kayak habis banget. Terus pernah juga handle empat anak sehari, besoknya aku demam, mual, pusing… akhirnya nggak masuk.”
Selain kelelahan, praktisi magang juga mengalami kecemasan antisipatif, terutama sebelum sesi dengan anak yang impulsif atau agresif. Rodriguez & Billings (2019) menemukan bahwa praktisi magang terapi anak sering mengalami kecemasan ini karena merasa kompetensinya masih terbatas. Kecemasan ini dapat muncul dalam bentuk kekhawatiran berlebihan, memikirkan kemungkinan perilaku tidak terduga dari klien, hingga keraguan terhadap kemampuan diri.
Meskipun tekanan emosional ada, pengalaman positif seperti kepuasan membantu menjadi penyeimbang. Praktisi magang merasa puas melihat kemajuan kecil pada klien, seperti peningkatan kemampuan bicara, keberanian menyentuh media sensori, atau perbaikan keterampilan motorik (Barnett & Molzon, 2020). Kepuasan ini penting untuk menjaga motivasi dan komitmen, serta berfungsi sebagai penyangga alami terhadap risiko emotional exhaustion. Melihat dampak positif pada klien memenuhi kebutuhan psikologis akan kompetensi dan kebermaknaan, yang memperkuat identitas profesional mereka.
Peran Kunci Supervisi dan Lingkungan Suportif
Supervisi menjadi salah satu faktor penting yang membantu praktisi magang menghadapi tantangan tersebut. Melalui supervisi, magang dapat berdiskusi tentang kendala, mendapatkan umpan balik, serta mempelajari strategi intervensi yang lebih efektif. Supervisi berfungsi sebagai ruang reflektif untuk menyeimbangkan emosi dan meningkatkan kompetensi klinis (Barnett & Molzon, 2020). Selain supervisi, dukungan dari rekan magang dan lingkungan kerja yang suportif juga berperan besar dalam mengurangi stres emosional. Sharing pengalaman antar praktisi magang membantu mereka merasa tidak sendirian dalam menghadapi tantangan klinis.
Pengalaman psikologis praktisi magang dalam menangani klien anak meliputi tantangan, pembelajaran, dan pembentukan profesional. Tekanan emosional yang tinggi dapat diatasi dengan supervisi efektif, lingkungan kerja kondusif, dan regulasi emosi yang baik, sehingga praktisi magang berkembang menjadi psikolog terampil dan tangguh. Pengalaman lapangan ini membentuk kompetensi teknis dan ketahanan emosional yang esensial.(*)











