Menurut Dellyarti, BTT hanya dicairkan jika terdapat kejadian tak terduga seperti bencana dan sebagainya. Sehingga saat ini wajar jika realisasinya masih rendah. Sedangkan belanja transfer sangat tergantung pada permintaan dana oleh pemerintah kabupaten/kota kepada pemerintah provinsi.
Jika permintaan dari kabupaten/kota rendah, maka tak heran jika realisasi belanja transfer juga ikut rendah. Sementara untuk belanja modal sangat tergantung pada proses pengadaan.
“Untuk belanja modal, organisasi perangkat daerah (OPD) yang bersangkutan mungkin masih dalam proses kontrak. Dan biasanya memang pembayarannya baru dilakukan menjelang akhir tahun atau setelah pekerjaan selesai,” katanya.
Hal ini terlihat dari realisasi OPD sektor pembangunan yang termasuk terendah, seperti Dinas Perumahan Rakyat, Kawasan Permukiman dan Pertanahan yang realisasi belanjanya baru tercapai 6,74 persen. Termasuk juga Dinas Bina Marga, Cipta Karya dan Tata Ruang (BMCKTR), yang realisasi belanjanya hanya 12,01 persen.
Di sisi lain, realisasi pendapatan daerah Sumbar justru cukup tinggi, yakni sebesar Rp2,92 triliun atau sekitar Rp49,10 persen dari target Rp5,94 triliun. Di mana pendapatan asli daerah (PAD) telah terealisasi Rp1,33 triliun atau sekitar 51,08 persen dari target Rp2,61 triliun.
Dellyarti menyebut, pendapatan daerah Sumbar terbesar masih didominasi oleh sektor pajak, terutama kendaraan bermotor. Di mana pendapatan dari pajak daerah tercatat sebesar Rp1,04 triliun. Selanjutnya disusul pendapatan dari dana transfer pusat dan dana perimbangan sebesar Rp1,55 triliun. (*)














