Sekitar 5 menit kemudian kami disuruh masuk. Seorang dokter memberi penjelasan, bahwa pasien positif Covid, ada gangguan jantung, dan kadar gula darah tinggi. Karena pernafasannya terganggu, harus dipasang vantilator, dan sebagian organ vital dinon-aktifkan. Status pasien yang demikian, di papan informasi di luar ruang perawatan sebelumnya sudah sempat saya baca dan foto. Dengan alasan untuk diinformasikan kepada keluarga, saya diizinkan mengambil foto dari balik kaca setelah pasien masuk kamar CCU nomor 9. Sebelum kami meninggalkan ruangan itu, petugas menitipkan selembar kertas berupa daftar keperluan yang minta dikirim ke RS keesokan harinya. Antara lain dua handuk, pempers, dan beberapa item lain yang diterima oleh Irwan.
Setelah keluar dari rumah sakit, saya kemudian berkomunikasi dengan Buya Anwar Abbas dan anggota DPR H. Guspardi Gaus, teman kuliah S1 Prof. Edi di IAIN (kini UIN) Syarif Hidayatullah. Menyampaikan perkembangan terbaru sesuai janji. Buya Anwar kemudian memberikan nomor telepon Ibu Ipah Farihah, istri Prof. Edi, untuk menyampaikan perkembangan. Ibu Ipah mengatakan, beliau akan berangkat ke KL dari Jakarta dengan Citilink pukul 11.00 WIB, hari Sabtu 17 September. Karena belum ada kepastian ada yang menjemput, saya tawarkan untuk ditunggu Irwan di KLIA. Beliau mengatakan terima kasih, dan sudah bertukar nomor kontak dengan Irwan.
Sehabis Subuh, Sabtu, saya meninggalkan KL menuju KLIA, karena akan balik ke Padang via Jakarta dengan Batik pukul 10.00 waktu Malaysia. Sampai saya di KLIA, ternyata penerbangan delay dua jam. Irwan lalu menelepon, mengabarkan sudah kontak dan bikin janji dengan Bu Ipah untuk bertemu di KLIA dan akan diantar langsung ke rumah sakit berikut barang pesanan petugas semalam. Saya merasa lega. Sementara menunggu penerbangan yang delay di KLIA, saya membuka berbagai situs media online di Indonesia. Peristiwa yang dialami Ketua Dewan Pers ini sudah menjadi berita paling viral di semua media massa dan lebih-lebih lagi media sosial dan semua grup WA yang saya ikuti.
Sekitar pukul 10.30 waktu setempat, saya yang masih di KLIA, dapat telepon dari Irwan. Ia menginformasikan baru saja dapat telepon dari dokter Serdang Hospital. Menginformasikan bahwa keadaan Prof. Edi sudah agak membaik. Rekaman pembicaraan telepon tersebut dikirim Irwan kepada saya. Dari permbicaraan itu saya menangkap, dokter mengatakan, tidak ada yang terlalu dicemaskan tentang keadaan Prof. Edi. Jantung bekerja baik, gula darah sedang diusahakan diturunkan. Dalam waktu 2 x 24 jam ventilator mungkin sudah bisa dibuka. Saya merasa lega ketika jadwal terbang ke Jakarta pun tiba.
Ketika transit di Bandara Soeta, saya sempat beberapa waktu tak bisa kontak dengan Irwan. HP saya kehabisan baterai, dan baru sekitar pukul 15.00 WIB bisa mengecas HP lagi. Ketika saya buka HP, dapat pesan WA dari Irwan, bahwa dia tidak bertemu Ibu Ipah di KLIA, walaupun sudah sempat kontak setelah pesawat mendarat. Tiga jam menunggu, akhirnya Irwan bisa komunikasi dengan Ibu Ipah, bahwa beliau sudah bersama orang KBRI dan sudah di KL. Setelah ada kejelasan, baru saya kembali lega, walaupun Irwan batal mengantarkan barang keperluan ke rumah sakit. Tapi syukurlah, berarti orang KBRI sudah turun tangan.
Selama hari Sabtu malam hingga Minggu pagi, saya terus memantau pemberitaan tentang perkembangan Prof. Edi. Hampir semua media memberitakannya. Saya berharap pernyataan dokter Serdang Hospital kemarin menjadi kenyataan. Kesehatan Prof. Edi akan membaik, karena begitu banyak orang yang mendoakannya. Tapi tiba-tiba, pukul 11.20 WIB saya serasa tersedak. Irwan menelepon saya, bahwa pihak rumah sakit baru saja menghubungi, mengabarkan Prof. Edi sudah mendahului kita. Irwan mengirim rekaman percakapan dengan dokter tersebut. Tertera waktunya pukul 12.11 waktu Malaysia atau 11.11 WIB. Innalillahi wainna ilaihi raajiun.
***
Prof. Dr. H. Azyumardi Azra, M.Phil., M.A.,C.B.E. adalah salah seorang cendekiawan terbaik Indonesia. Beliau adalah satu dari sedikit cendekiawan dan pemikir Islam yang hingga kini tetap independen dan kritis terhadap kekuasaan. Di tengah kerisauan akan kelangkaan intelektual Islam dan ulama dari negeri ini, Azyumardi Azra –nama yang berarti “permata hijau”– adalah permata yang terus bersinar. Pernah menjadi Rektor Universitas Islam (UIN) Syarif Hidayatullah dua periode, dua kali menjadi Deputi Sekretaris Wakil Presiden RI, dan sejak Mei 2022 menjadi Ketua Dewan Pers Indonesia. Tahun 2010, ia memperoleh gelar Commander of the Most Excellent Order of the British Empire (CBE) dari Ratu Elizabett II. Ia adalah orang Indonesia pertama yang meraih gelar tertinggi itu, dan berhak atas gelar Sir di depan namanya.














