HARIANHALUAN.id – Anggota Komisi II DPR dari fraksi PAN, Guspardi Gaus meminta petugas pemutakhiran data pemilih (pantarlih) Lebih teliti dan cermat dalam melakukan pendataan dan pencocokan data pemilih. Guspardi mengatakan, pemutakhiran data pemilih perlu dilakukan denga teleti dan kecermatan yang tinggi.
Hal ini terutama untuk memastikan pemilih berusia muda, yang bakal berpartisipasi dalam pemilu pada 14 Februari 2024. Dalam hal ini, dibutuhkan pembanding dengan data kependudukan dan pencatatan sipil (dukcapil).
“Data dari dinas kependudukan dan catatan sipil (dukcapil) itu pasti lengkap. Yang berbeda adalah data pemilih sebelumnya, ada yang sudah meninggal, pindah alamat, pindah profesi menjadi anggota TNI/Polri dan lain sebagainya, itu yang perlu disikapi, dan dibenahi. Harus dilakukan kajian-kajian bagaimana menyiapkan langkah mitigasi kepada warga masyarakat yang semestinya berhak memilih jangan sampai tidak memilih,” katanya, Senin (6/3).
Pada Pemilu 2019, sambung Guspardi, banyak orang tak memilih bukan karena golput. Melainkan luput dari pendataan saat usianya belum tergolong sebagai pemilih atau pindah domisili. Kemudian banyak sekali data pemilih fiktif yang disalahgunakan untuk menambah pemilih di TPS.
Ia menyebut, data pemilih yang bermasalah bisa sangat sensitif dijadikan gugatan sengketa pemilu oleh pihak yang kurang puas terhadap hasil pemilihan. Legislator Dapil Sumatera Barat 2 ini menilai ada dua cara untuk mengantisipasi data pemilih agar tidak luput dari pencocokan data pemilih (coklit).
Pertama, inisiatif dari Ketua RT/ RW atau perngkat desa mendata calon pemilih baru atau warga yang baru pindah domisili. Kedua, peran aktif warga untuk melaporkan diri bahwa mereka belum terdaftar sebagai pemilih. Peran aktif warga dan perangkat desa sangat diperlukan agar data pemilih di kemudian hari tak bermasalah.
“Contohnya data anggota TNI atau Polri, jangan sampai luput dari pendataan. Sebab, bisa saja setelah Pemilu 2019 ia sudah pensiun dari anggota TNI atau Polri, sehingga berhak memilih pada Pemilu 2024. Begitu juga ketika Pemilu 2019 sudah terdaftar sebagai pemilih namun setelah pemilu di terima menjadi anggota TNI atau Polri, sehingga mereka tentu tidak berhak menjadi pemilih di pemilu mendatang,” ulasnya.
Kemudian Guspardi juga menyebut, data mengenai orang yang sudah meninggal dunia juga riskan. Banyak juga penyalahgunaan yang dilakukan oknum-oknum terhadap orang yang telah meninggal. Bisa saja, katanya, orang sudah meninggal, tetapi belum memiliki akta kematian, sehingga dianggap masih hidup dan punya hak suara.
“Itu juga bagian yang perlu diinventarisir. Perlu dilacak dan diketahui pantarlih untuk disampaikan kepada kelurahan atau pekerja lapangan pantarlih sebagai perpanjangan tangan dari KPU,”jelasnya.
Terkait aplikasi e-Coklit yang disinyalir sering error itu, menurutnya, bukan tak mungkin berdampak pada data pemilih. Maka perlu dilakukan back-up data secara manual yang bisa digunakan untuk antisipasi jika terjadi error.
“KPU saya kira harus memberikan akses informasi data pemilih secara utuh kepada pengawas pemilu. Hal ini perlu dilakukan agar Bawaslu bisa melakukan pengawasan secara maksimal” pungkas anggota Baleg DPR RI tersebut.
Hal senada disampaikan oleh Direktur Eksekutif Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP) Neni Nur Hayati. Ia berpendapat, pemutakhiran data pemilih yang dilakukan dengan coklit perlu dilakukan dengan cermat. Kecermatan pendataan itu perlu dilakukan pula di lokasi bencana, terisolir, masyarakat adat, serta pemilih yang tak aksesibel. Ia pun menyoroti e-coklit.
“Menurut kami, e-coklit perlu dilakukan audit karena sering error dan sebagainya,” tuturnya. (len)














