STUNTING merupakan keadaan tinggi badan anak yang rendah bila dibandingkan dengan tinggi badan anak seusianya akibat kekurangan gizi yang terjadi pada 1000 hari pertama kehidupan anak. Berdasarkan hasil Survey Status Gizi Indonesia (SSGI) pada Januari 2023, Kementrian Kesehatan menyatakan bahwa angka prevalensi stunting di Indonesia adalah 21,66 persen.
Angka yang menunjukkan perbandingan banyaknya kejadian stunting dengan banyaknya seluruh kemungkinan stunting (jumlah penduduk) Indonesia tersebut, masih berada di atas standard prevalensi WHO 20 persen.
Angka tersebut juga menjadikan Indonesia berada di peringkat keempat dunia dalam hal stunting.
Tidak terpenuhinya asupan gizi anak stunting yang mengakibatkan gangguan pada proses pematangan neuron (sel saraf), perubahan struktur dan fungsi otak, juga dapat memberikan dampak jangka pendek maupun jangka panjang pada anak.
Dampak jangka pendek antara lain berupa penurunan kemampuan kognitif yang meliputi penurunan aspek keterampilan berfikir logis dan kritis dalam belajar, serta penurunan kemampuan dalam pemecahan masalah maupun daya ingat. Dalam penelitian yang berjudul “Impact of Stunting on early childhood Cognitive in Benin: evidence from Demographic and Health Survey”, Ekholuenetale et. al (2020) telah membuktikan bahwa anak stunting mengalami 7 persen penurunan kemampuan kognitif bila dibandingkan dengan anak yang tidak mengalami stunting.
Di sisi lain Aurora et.al (2019) dalam tulisannya tentang Perbandingan Skor IQ (Intelectual Question) Pada Anak Stunting dan Normal,membuktikan bahwa aspek kognitif atau kecerdasan anak stunting terbukti 4,57 kali lebih rendah dibandingkan dengan anak bukan stunting. Selanjutnya, dampak jangka panjang dapat menimbulkan daya serap yang tak maksimal, penurunan produktivitas kerja dan penurunan prestasi di sekolah. Berkaitan dengan dampak ini, Muazzim & Hajar (2019) dalam tulisannya “The Correlation Between Stunting And Learning Achievement in 9-12 Years, Old Children At Idi Rayeuk, East Aceh Regency, Indonesia” mendapatkan bahwa anak stunting cenderung memperoleh prestasi belajar yang “cukup” sedangkan anak bukan stunting dapat memperoleh prestasi yang “baik” hingga “sangat baik”.
Hasil yang sama juga diperoleh oleh Geleto, Sena dan Hailu (2017) dalam tulisannya “Predictors of Academic Performance With Due Focus On Undernutrition Among Students Attending Primary Schools of Hawa Gelan District, Southwest Ethiopia: A School Based Cross Sectional Study”.
Dalam belajar matematika sangat diperlukan aspek kognitif yang berkaitan dengan nalar atau proses berfikir melalui aktivitas otak untuk mengembangkan kemampuan rasional. Aspek yang yang mesti dimiliki siswa ini selain digunakan dalam memahami masalah atau soal matematika, juga digunakan dalam proses mendapatkan solusi masalah tersebut. Semeraro, et.al (2020) dalam penelitiannya yang berjudul “The role of Cognitive and Non Cognitive factors in Mathematics Achievement: The Importance of The Quality of The Student-Teacher Relationship in Middle School” mengungkapkan bahwa kemampuan koginitif adalah predictor terbaik dalam mengukur prestasi matematika siswa sedangkan faktor non kognitif seperti kualitas hubungan siswa dan guru memiliki pengaruh tak langsung terhadap prestasi belajar matematika di sekolah. Secara logika, penurunan kemampuan kognitif tentu juga akan berdampak pada penurunan dalam kemampuan bermatematika. Hal ini telah dibuktikan oleh Haile, et. al (2016) yang mendapatkan hubungan positif antara tinggi badan dengan nilai matematika. Dalam tulisan yang berjudul “ Height for Age Z Score and Cognitive Function Are Associated with Academic Performance Among School Children Aged 8-11 Years Old”, ia memperoleh bahwa nilai matematika anak yang mengalami stunting 2,11 lebih rendah dari anak yang bukan stunting.
Dari beberapa penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa pemenuhan gizi anak sangat diperlukan untuk membangun dan menyempurnakan kecerdasan (kognitif) si anak. Kecerdasan tersebut kemudian dapat menimbulkan kemampuan dan minat dalam bermatematika. Hal ini tentu sangat membantu guru dalam mengarahkan si anak saat melakukan tugas atau aktivitas kerja di sekolah. (*)










