Kita yang bangga adalah kita yang juga menyimpan cemas.
Kita cemas dengan kelemahan dan ketidakbecusan kita mengurus hal-hal yang tidak mampu kita urus. Secara faktual, kita hanya mampu menyelesaikan beberapa perkara dalam hidup kita dan lebih banyak lagi masalah yang tak mampu kita selesaikan. Dan kita berupaya berdamai dengan diri dan kelemahan kita. Kita menghibur diri dan meniupkan optimisme dengan ungkapan “bangga menjadi diri sendiri” (yang lemah dan tidak becus itu).
Di dalam kitab Minhaaj al-‘Abidiin yang (diduga) ditulis oleh Sang Hujjatu al-Islaam, Imam Abu Hamid al-Ghazali, bahwa dua faktor utama yang akan merusak ibadah ialah ‘ujub atau bangga atau takjub terhadap diri sendiri. Hal ini disebabkan oleh dua alasan: pertama, rasa ‘ujub menghalangi hamba dari memperoleh taufiq, sebagaimana yang telah dibeberkan oleh baginda Rasul: “Ada tiga perkara yang membinasakan, yaitu sifat kikir yang diikuti, hawa nafsu yang dituruti, dan kekaguman seseorang terhadap dirinya sendiri.”
Alasan kedua, rasa ‘ujub merusak dan mencabut nilai amal. Nabi Isa Al-Masih A.S. mengatakan, “Wahai para Hawari, betapa banyak lentera yang dipadamkan angin, dan berapa banyak ahli ibadah yang dirusak oleh ‘ujub”.
Kembali kepada soal bangga.










