Kalaupun kebanggaan diartikan sebagai sikap optimis dan menghargai diri sendiri, di titik ini pun kebanggaan yang diasumsikan dan diasosiasikan sebagai optimisme dan ber-husnuszhan terhadap diri sendiri tetap saja meninggalkan masalah serius: kebanggan gampang membuai dan melenakan, dan akibatnya seorang hamba akan dengan mudah lupa dengan rahmat dan pertolongan Allah dalam segenap urusannya, di mana satu-satunya kekuatan yang akan menolong seseorang menunaikan segala urusan ialah kekuatan pertolongan Allah.
Disadari atau tidak, kebutuhan pokok manusia, di samping kebutuhan biologis, ialah kebutuhan akan aktualisasi diri. Setiap orang butuh diperhatikan, butuh dianggap, butuh dapat tempat, dapat panggung dan lampu sorot. Kehormatan dan harga diri yang sampai saat ini tidak kunjung mampu saya rumuskan berawal dari kebutuhan ini.
Untuk menutup tulisan ini, saya teringat pesan bijak seorang teman:
“Panggung membuat orang mulupakan punggung. Orang yang berdiri di depan lampu sibuk menampung kilau tapi lupa sisi gelap bayang.
“Kadang ikua (pantat) oto puso (truk) lebih jujur daripada manusia. Di ikua oto puso ada tulisan ‘BLIND SPOT: segera menjauh, anda tidak terlihat sopir’.
“Sopir oto puso mengakui titik butanya sendiri, di saat orang lain merasa bisa melihat segalanya.” (*)










