Kesimpulan
Tulisan ini menekankan pentingnya melestarikan jati diri budaya Minangkabau sebagai landasan pembangunan, untuk keberlangsungan masyarakat. Perbandingan dengan Bali menyoroti betapa vitalnya menjaga jati diri budaya dalam mendukung kemajuan ekonomi, terutama dalam sektor pariwisata. Kesadaran akan pentingnya pendidikan budaya dan warisan budaya menjadi kunci dalam membangun kesadaran kolektif dan semangat kebersamaan.
Dalam konteks pemilihan pemimpin, dasar utamanya adalah penting mencari pemimpin yang mempunyai pandangan yang luas dan memahami adat dan agama, harus kedua-duanya sekali. Nasrun (1957:24) mengatakan, bahwa dalam diri orang Minangkabau itu adat dan agama sejalan. Pemimpin yang hanya memahami salah satu saja (adat saja atau agama saja) diyakini dia akan berjalan tengkak alias pincang, dan pancagatra sosialnya pun akan terlihat pincang. Untuk itu, rujuk dan pahamilah QS. Al Hujurat 13, itulah wujud sosio budaya dalam Islam.
Jadi perlu membangun kesadaran akan pentingnya jati diri budaya, agar dapat menjaga kebersamaan, dan memilih pemimpin yang berkualitas, diharapkan Sumbar dapat bangkit menuju masa depan yang lebih baik. Tetapi kalau kesadaran masih di awang-awang, dan konflik dan gontok-gontokan antarlembaga, antar tokoh masih berlanjut, maka Sumbar bangkit mungkin akan bertukar menjadi Minangkabau di penghujung usia, menunggu kematian sebagaimana judul tulisan ini. Yang mati itu bukan raganya, tetapi budayanya atau cara hidupnya. Pergaulan bebas, LGBT, murtadin dan lainnya akan berkembang semakin pesat, dan Minangkabau akan menuju menjadi sebuah suku kaum yang tidak beradab (uncivilized ethnic group). Kalau tidak percaya, cobalah sekali-sekali menoleh ke negara-negara tertentu di Afrika, di sana ada buktinya. Wallahualam bissawab. Terima kasih. (*)
Oleh: Dirwan Ahmad Darwis
(Pecinta Sejarah, Budaya dan Bahasa Minangkabau)














