PADANG, HARIANHALUAN.ID— Aktivitas pertambangan pasir, batu, dan kerikil ilegal yang berlang- sung sejak beberapa tahun terakhir di sepanjang aliran sungai Batang Anai, Kabupaten Padang Pariaman sudah sangat mengkhawatirkan dan menimbulkan kerusakan lingkungan yang masif. Tambang ilegal yang berada tak jauh dari lokasi pembangunan jalan tol Padang-Pekanbaru itu juga dinilai dapat mengancam Proyek Strategis Nasional (PSN) tersebut.
Beroperasinya puluhan unit eskavator yang melakukan pengerukan pasir dan batuan di kawasan tersebut telah membuat sumber air masyarakat tercemar. Aktivitas itu juga meninggalkan lubang-lubang tambang yang menganga tanpa direklamasi, serta pengolahan limbah yang tidak terkendali.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumatera Barat (Sumbar) menyatakan, kerusakan alam yang disebabkan aktivitas tambang ilegal itu sudah sangat nyata terjadi. Namun sayangnya, aksi perusakan lingkungan hidup itu seolah-olah dibiarkan dan bahkan tidak tersentuh hukum.
“Sampai saat ini aktivitas tambang pasir, batu, dan kerikil ilegal di sepanjang Batang Anai masih berlangsung. Namun tambang ilegal ini seakan-akan tidak tersentuh hukum, karena sampai saat ini masih beraktivitas,” ujar Kepala Departemen Advokasi Walhi Sumbar, Tomi Adam kepada Haluan, Selasa (16/7).
Tomi mengungkapkan bahwa aktivitas tambang ilegal yang begitu massif di daerah itu memiliki kecenderungan menimbulkan dampak kerusakan alam yang serius, karena tidak ada mekanisme reklamasi dan pengelolaan limbah.
Aktivitas tambang ilegal yang terdapat di banyak sekali titik yang tidak jauh dari jalan tol Padang-Pekanbaru Seksi Padang-Sicincin itu juga telah menyebabkan berbagai persoalan lingku- ngan.
Beberapa di antaranya seperti erosi tanah di tepi sungai yang semakin parah, penurunan kualitas air sungai yang sudah terlihat keruh dan tercemar, kerusakan ekosistem, serta hancurnya habitat aneka biota sungai seperti ikan dan sebagainya.
“Aktivitas tambang yang merusak lingkungan ini juga meningkatkan risiko terjadinya banjir dan longsor. Bencana ekologis ini pernah melanda Nagari Lubuk Alung pada musim hujan tahun 2024 ini,” katanya.
Pada musim hujan, Tomi melanjutkan, bekas kerukan tanah pasir, batu, dan kerikil ilegal yang hanyut terbawa arus air hujan juga sering kali masuk dan merusak padi yang ada di sawah milik warga sekitar. Masyarakat dan pemerintah nagari setempat pun sebenarnya tidak diam melihat persoalan ini.
Beberapa kali warga dan pemerintah nagari melapor dan mengirimkan surat secara resmi kepada pemerintah daerah, namun hasilnya nihil.
Tomi mengatakan, pada 13 November 2023 lalu, Wali Nagari Balah Hilia telah bersurat kepada Gubernur Sumbar tentang aktivitas penambangan tanpa izin, yang kemudian ditindaklanjuti oleh Pemprov Sumbar.
Pada 4 Desember 2023, Pemprov Sumbar melakukan rapat bersama Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Sekdaprov Sumbar, dengan hasil dilaksanakan penertiban secara
terpadu pada 5 Desember 2024.
Penertiban ini melibatkan Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sumbar, Lantamal II Padang, Lanud Sutan Sjahrir, TNI AD, Direskrimsus Polda Sumbar, Dinas ESDM Sumbar, Koordinator Inspektur Tambang Kementerian ESDM, Kesbangpol Sumbar, Satpol PP dan Damkar Sumbar, Balai Wilayah Sungai(BWS) SumateraV,serta Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Sumbar.
Akan tetapi, karena sanksi yang dijatuhkan saat itu hanya berupa pemasangan plang larangan tanpa adanya monitoring oleh pemerintah, kegiatan tambang akhirnya masih tetap berlangsung hingga saat ini.
Menyikapi hal ini, masyarakat akhirnya memutuskan untuk melaporkan kepada Presiden Joko Widodo pada bulan April 2024 lalu. Saat itu, masyarakat diwakili oleh Lembaga Swadaya Masyarakat Pemerhati Lingkungan (LSM AMUAK).
“Dari pengumpulan data lapangan diketahui bahwa kegiatan penambangan diduga melibatkan oknum militer dan kepolisian sebagai beking. Diperkirakan lebih dari 10 penambang ilegal dengan 10 sampai 15 alat berat,” katanya.
Berdasarkan Analisa Hukum Lingkungan dan Kajian Spasial Walhi Sumbar, aktivitas tambang pasir, batu, dan kerikil ilegal di sepanjang aliran Batang Anai tersebut telah melanggar sejumlah aturan perundang-undangan. (*)














