PARIAMAN, HARIANHALUAN.ID — Pukul 6.30 WIB pagi, masyarakat di Kota Pariaman sudah mulai mengerumuni dua Tabuik gadang yang digotong oleh anak nagari dari Rumah Tabuik Pasa dan Rumah Tabuik Subarang.
Tabuik Pasa diberhentikan di tengah aktivitas jual beli masyarakat di simpang empat Pasar Pariaman. Sementara Tabuik Subarang diturunkan dari mobil pick up di perempatan Simpang Tugu Tabuik.
Kerumunan masyarakat sudah menanti kedatangan kedua Tabuik gadang sebelum pukul enam pagi. Mereka sudah bersolek dan berpakaian rapi dengan membawa serta anak, istri, suami, bapak dan ibu.
Dalam kerumunan orang itu, ada juga yang berpakaian santai karena baru saja melakukan aktivitas pagi. Ada yang mengenakan baju training karena habis jogging dan ada juga yang masih memakai mukena karena baru kembali dari masjid.
Tabuik naiak pangkek merupakan prosesi penyatuan bagian atas dan bagian bawah dari Tabuik gadang. Bagian atas terdiri dari bilik bilik dan gomaik serta bagian pelengkap lainnya, sedangkan bagian bawah mencakup badan burak dan tonggak serak.
Kedua bagian itu juga disebut dengan pangkek atau pangkat atas dan pangkat bawah. Maknanya, ialah melambangkan persatuan dan kesatuan dari perbedaan suku, agama, ras dan bahasa selayaknya semboyan Bhineka Tunggal Ika.
Tahun ini, Tabuik Pasa dan Tabuik Subarang dibuat dengan ketinggian lebih kurang 13 meter. Ornamen Tabuik gadang dibuat dengan memperhatikan simbol-simbol yang melambangkan ciri khas masyarakat Kota Pariaman. Jika diperhatikan, bagian pangkek ateh dan bawah memiliki dekorasi berupa gambar kalajengking.
Tuo Tabuik Pasa generasi kelima, Zulbakri menyebut, kalajengking mempunyai sifat yang unik. Hewan kelas arachnida ini pada dasarnya memiliki sifat yang tenang. Namun, dalam kondisi bahaya, ia akan berubah menjadi agresif hingga sangat agresif dengan mengeluarkan racun yang amat perih dari ekornya.
“Sifat orang Pariaman memiliki kesamaan dengan kalajengking. Jika diusik dan disakiti, maka akan melawan dengan perlawanan yang tidak pernah disangka-sangka,” ungkap Zulbakri.
Ekor beracun kalajengking diibaratkan sebagai senjata terakhir orang Pariaman saat melawan musuh. “Senjata terakhir ini harus dapat melumpuhkan lawan,” sambungnya.
Selayaknya manusia, kalajengking memiliki kemampuan membimbing dan mengasuh anak dengan sangat baik. Mereka akan membesarkan sang anak dengan selalu dibawa di atas tubuh. “Ketika Kalajengking melahirkan anaknya dia membesarkan anaknya di atas pundaknya sendiri. Bagi kami orang Pariaman, sudah menjadi hal yang tidak bisa ditawar lagi bahwa tugas orang tua tidak hanya melahirkan anak namun membimbing dan mengasuh hingga dewasa,” jelas Zulbakri.
Ketika sudah mencapai umur, anak kalajengking akan mandiri dan tidak bergantung pada orang tuanya. Mereka akan hidup panjang hingga mencapai usia 25 tahun.
“Umur panjang kalajengking karena mereka bisa beradaptasi dengan lingkungan. Begitu juga orang Pariaman yang dikenal dengan tradisi merantau karena dapat beradaptasi dengan lingkungan dan pandai memposisikan diri,” ungkap Tuo Tabuik Pasa generasi kelima itu.
Ia antusias menceritakan makna di balik gambar kalajengking. Dekorasi ini nyatanya bukan hanya pemanis yang ditempel pada pangkek ateh Tabuik, tetapi memiliki artian yang lebih luas dalam menggambarkan sifat orang Pariaman.
Kalajengking bahkan juga menggambarkan karakter orang Pariaman yang bersinar dalam kegelapan. Sebab, hewan invertebrata ini mengeluarkan sinar yang berpendar pada malam hari.
Zulbakri menyebut, orang Pariaman tidak terpengaruh oleh situasi buruk. Mereka cenderung teguh pendirian di saat lingkungannya gelap atau memanas.
“Kalajengking itu mampu bersinar di kegelapan dan mampu merefleksikan cahaya matahari. Sifat itu, menyimbolkan orang Pariaman yang dapat memberi warna pada diri sendiri atau penyeimbang dalam situasi yang canggung,” paparnya. (*)














