PADANG, HARIANHALUAN.ID– Tubuh-tubuh itu terus bergerak resah. Tatapannya yang tajam mengisyaratkan ketidakterimaannya dengan nasib kini.
Properti tambua yang dilempar dan disambut para penari menandakan sebuah keruntuhan-runtuhnya rumah gadang dan pakaian Minangkabau.
Begitulah kritisi yang dilampiaskan pengkarya Ery Mefri dalam karyanya yang berjudul “Asok dari Tungku”. Sang Maestro Tari itu mentransformasikan buah pikirannya ke dalam 70 menit pertunjukan tari kontemporer “Asok dari Tungku”.
Di awal pertunjukan hingga berakhir, “Asok dari Tungku” sarat akan hermeneutiknya, di mana keresahannya itu bersembunyi di balik tubuh para penari yang terus bergerak mengisi ruang-ruang kosong panggung pertunjukan di Gedung Pertunjukan Manti Menuik Ladang Tari Nan Jombang, Padang, Sabtu (20/7) kemarin.
Karya tari kontemporer yang memadukan beberapa kesenian tradisi Minangkabau (silek, tari, dendang, saluang pauh, sampelong dan kucapi) tak lepas dari sorotan pencahayaan. Setiap gerak terselubung pemaknaan-pemaknaan yang mendalam.
Dari pengantar cerita “Asok dari Tungku”, secara jelas karyanya memaksudkan kemirisannya akan keruntuhan orang-orang di Minangkabau.
Ery Mefri sang koregrafer Nan Jombang Dance Company itu mengatakan bahwa rumah gadang memanglah mengalami keruntuhan. Bahkan parahnya lagi orang Minangkabau seakan tak lagi memiliki pakaiannya.
Bukan memandang keruntuhan dalam arti fisik saja, namun lebih intimnya lagi pada kemerosotan atau bahkan hilangnya nilai-nilai bijak yang semestinya ada dalam Minangkabau itu sendiri.














